Tak jauh dari Gunung Penanggungan, di sisi barat daya terdapat sebuah desa dengan toponimi kuno, Kutogirang. Desa yang terletak di Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto tersebut terdapat struktur bata memanjang membentuk persegi seperti pagar. Jumlahnya ada tiga, masing-masing ditata berjajar menyesuaikan ketinggian tanah kaki Gunung Penanggungan. Struktur pertama berada di level tanah paling rendah di sisi barat, menyusul struktur kedua berada di tengah dengan level tanah lebih tinggi dan struktur ketiga menempati level tanah tertinggi berada di sisi timur.
Struktur tersebut bernama Kutogirang, sesuai nama desa yang menaunginya. Toponimi Kutogirang memiliki dua makna, pemukiman berpagar dengan penduduk yang riang atau juga pemukiman berpagar yang berada di hulu. Kuta/kutha dalam bahasa Jawa Kuno berarti pemukiman yang berpagar atau dapat juga dimaknai sebagai benteng, sedangkan girang berarti gembira atau riang. Oleh karenanya Krom dalam ROD 1915 memaparkan bahwa situs tersebut merupakan bekas kerajaan Majapahit masa Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya abad ke-15 Masehi, berdasarkan interpretasi dari prasasti Jiyu dan inskripsi di Jedong. Akan tetapi Agus Aris Munandar dalam bukunya ‘Arkeologi Pawitra’ mengungkapkan hal lain bahwa girang dalam bahasa Sunda berarti hulu. Menurutnya situs Kutogirang merupakan pemukiman yang berada di hulu.
Lembaga Penelitian Purbakala Nasional pernah melakukan penelitian terhadap situs Kutogirang, mendapati bahwa situs tersebut merupakan bekas bangunan air. Pendapat tersebut diajukan oleh A.S. Wibowo, Soekarto Atmojo, serta J.G. de Casparis berdasarkan pada pola lubang-lubang saluran air di dinding bawah sebelah utara. Hal itu juga diamini oleh peneliti dari Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada bersama Direktorat Perlindungan bekerja sama dengan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Berdasarkan tes pedostratigrafi menunjukkan pada masa lampu terdapat saluran pelimpahan yang tersusun dari bata dan situs ini tergenang air di atasnya pada kedalaman 185 cm dan 200 cm.
Merangkai hasil penelitian para ahli, maka didapatkan petunjuk bahwa situs tersebut merupakan kolam air seperti Kolam Segaran, namun bertingkat tiga seperti Petirtaan Jolotundo di masa lalu. Kitab Tantu Panggelaran menyebutkan adanya upacara atrisadyabrata yang dilakukan Dewa Siwa sebelum berpindah dari Gunung Mahameru ke Gunung Penanggungan. Gunung Penanggungan merupakan gunung suci dan dalam kitab tersebut dianggap sebagai puncak dari Mahameru India yang diboyong ke Jawa. Upacara atrisadyabrata merupakan ritual Dewa Siwa melakukan mandi selama tiga kali pada siang hari dan tiga kali pada malam hari. Tetesan air ritual tersebut kemudian membentuk sebuah danau di Pawitra. Agus Aris Munandar membantah bahwa di Penanggungan terdapat danau layaknya Ranu Kumbolo di Semeru. Ia memaparkan jika danau yang dimaksud tersebut berupa danau buatan yang kini merupakan situs Kutogirang. Selain temuan struktur, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur juga menemukan komponen bangunan yang terbuat dari tanah liat seperti genteng, memolo dan bubungan yang merupakan bagian dari atap bangunan sewaktu mengadakan ekskavasi penyelamatan di pekarangan Bapak Dinar. Kondisi situs Kutogirang saat ini semakin memprihatinkan. Beberapa tembok telah terputus dan menyisakan sebagian saja. Struktur I terdiri dari tiga bagian, bagian pertama berbentuk L berukuran 7,8 x 3,6 x 1, 05 meter, bagian kedua tersusun dari batu andesit memanjang dan bagian ketiga berupa struktur berundak dua lapis berukuran 6 x 2,15 x 0,76 meter. Struktur II berada di utara Struktur I dan terdiri dari tiga bagian dalam satu garis lurus. Bagian pertama berada di sisi paling timur berbentuk T berukuran 4,85 x 2,5 meter, bagian kedua berada di tengah berukuran 33 x 1,2 x 0,6 meter dan bagian ketiga berada di sisi paling barat berukuran 23,4 x 0,8 meter. Struktur III memanjang orientasi barat – timur berukuran 70,1 x 1,5 x 0,6 meter dan sebagian berorientasi utara – selatan dengan ukuran 2,5 x 1 x 0,6 meter. (Yusuf)
Keterkaitan informasi: