Pasuruan pernah mengalami masa jaya sepanjang abad 19, dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa bangunan megah yang tersebar di hampir seluruh bagian kabupaten. Letak geografis yang strategis, sangat membantu kota ini menjadi salah satu kota pelabuhan yang terbesar di Pantai Utara Jawa sepanjang abad ke 19.
Seperti halnya dengan dengan kota-kota pelabuhan besar di pantai Utara Jawa, Pasuruan juga dilewati sebuah sungai (S. Gombong) yang membelah kota dari utara ke selatan. Sebelum adanya jaringan jalan darat yang memadai di masa lalu, semua hasil bumi dari daerah pedalaman (hinterland), diangkut dengan perahu melalui sungai tersebut.
Daerah pedalaman (hinterland) sekitar Pasuruan, merupakan salah satu daerah pertanian yang tersubur di Jawa. Sepanjang abad 19 dimana ekploitasi pemerintah kolonial Belanda pada hasil perkebunan di Jawa diintensifkan melalui cara tanam paksa (Cultuurstelsel 1830-1870), Pasuruan sempat dipakai sebagai kota pelabuhan untuk membawa hasil perkebunan tersebut langsung ke pelabuhan–pelabuhan di Eropa.
Pasuruan juga dipakai sebagai kota “collecting center”, yang berfungsi sebagai distribusi dan perdagangan bagi hasil bumi dari daerah di sekitarnya sepanjang abad ke 19. Sehingga tata ruang dan pembangunan jalan-jalan utama di kotanya dibuat sesuai dengan keperluan sebagai kontrol administrasi dan kelancaran produksi serta distribusi atas hasil bumi di daerah hinterland.
Jalan raya pos (grotepostweg), yang menghubungkan kota-kota pantai Utara Jawa, (dibangun pada masa pemerintahan Daendels, 1808-1811), juga melewati Pasuruan. Sehingga hubungan Pasuruan dengan kota-kota lain seperti Surabaya (di sebelah Barat), Probolinggo dan Kota-Kota Ujung Timur Jatim, serta daerah pedalaman seperti Malang menjadi sangat mudah.
Sejak tahun 1867, sudah dibangun jalan kereta api Surabaya – Pasuruan. Ditambah dengan pelabuhan lautnya, maka infrastruktur yang baik sebagai salah satu syarat bagi sebuah kota sudah bukan masalah bagi Pasuruan. Tidak heran kemudian daerah itu dulunya dijuluki “passer oeang” yang kemudian berubah menjadi Pasuruan, karena memang menjadi tujuan perdagangan bagi daerah sekitarnya.
Sebagai Kota Pelabuhan, Pasuruan mempunyai penduduk yang relatif lebih heterogen dibandingkan kota-kota pedalaman di Jawa. Sejak ramainya perdagangan, di sana terdapat banyak permukiman dari berbagai etnis, dengan alasan untuk berdagang. Diantaranya, etnis Cina yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke 17 di Pasuruan. Bahkan menurut pengamatan “Tombe” pengelana bangsa Perancis yang pernah mengunjungi komunitas Cina di Pasuruan tahun 1803, memperkirakan penduduk Cina yang hidup berkelompok waktu itu, merupakan sepertiga dari penduduk Pasuruan (Handinoto, Pasuruan dan Arsitektur Etnis Cina Akhir Abad 19 dan Awal Abad ke 20.
Pasuruan pada masa lalu adalah sebuah karesidenan yang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Bangil, dan Kabupaten Malang. Kabupaten Pasuruan sendiri tardiri dari 12 distrik; Kraton, Kota, Rajasa, Winongan, Keboncandi, Jati, Grati, Melaten, Gempeng, Ngempit, Tengger, dan Wangkal.
Adapun distribusi kelompok etnisnya pada tahun 1830 adalah sebagai berikut; di daerah dekat pantai, terdapat perkampungan orang Cina, Moor, dan Arab. Di antara kelompok etnis ini, orang Cina-lah yang paling berpengaruh. Selain itu, di Pasuruan juga terdapat banyak orang Madura. Kegiatan perdagangan cukup ramai sehingga di tepi pantai Bangil maupun Pasuruan bermukim ratusan orang pedagang Melayu, Bugis, dan Mandar.
Orang-orang Eropa juga banyak terdapat dalam wilayah ini. sebagian besar dari mereka tinggal di distrik kota (329 jiwa), sedang di Distrik Kraton hanya terdapat 7 jiwa. Sedangkan orang Jawa ada di semua distrik, begitu pula dengan orang Madura yang ada di semua distrik, kecuali Distrik Ngempit (FA. Soetjipto, 1983: 262) (Lap. Pendataan Bangunan Kolonial Kab. Pasuruan 2019)