Pada masa Hindia-Belanda didapatkan informasi pada surat kabar (De Locomotief, 09 Maret 1938) tentang usaha Djie Ting Hian (Kapitein der Chineezen Kediri 1927-1930) yang mempunyai perusahaan bernama “Tenoen 1925” telah mengimpor 150 alat tenun dari pihak Britsch-Indië pada tahun 1925. Mereka memiliki pegawai dari Britsch-Indië yang telah terlatih membuat tenun. Kemudian pegawai tersebut melatih penduduk lokal (Kediri) untuk mendalami seni tenun.
Surat kabar De Indische Courant terbit pada 12 Juli 1937 menginformasikan tentang adanya empat pabrik tenun besar di Kediri, selain “Tenoen 1925” milik Djie Ting Hian. Pabrik tenun yang paling besar berada di jalan Djagalan (Djagalanstraat), yakni The Kediri Sarong-Factory Tenoen. Dikelola oleh firma Alsaid Barah dan menyandang nama “Weverij Kabized Kediri” dan memiliki 170 mesin tenun, dan direncanakan akan bertambah menjadi 300 mesin, dengan mempekerjakan 250 pegawai.
Pasca revolusi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an kerajinan tenun ikat di Kota Kediri berkembang. Perkembangan industri tenun di wilayah timur Sungai Brantas (Jagalan, Ringinanom, dan Pakelan), kemudian bergeser ke wilayah barat sungai, tepatnya di Kelurahan Bandar Kidul. Produk yang dihasilkan waktu itu berupa sarung kotak (sarung Palikat). Seiring dengan perkembangan teknologi tenun Palikat mulai dibuat dengan menggunakan mesin. Persaingan mulai terjadi membuat pasar melemah karena kompetitor menjual sarung “Palikat” dengan harga lebih murah. Dengan kejadian tersebut para pengrajin akhirnya membuat sarung “Goyor Kembang” dengan motif lebih menarik dari sarung “Palikat”.
Sarung “Goyor Kembang” diminati oleh masyarakat, namun belum dapat membawa tenun ikat “Bandar Kidul” menjadi di kenal masyarakat. Kebanyakan dari masyarakat tidak mengetahui bahwa produk tersebut adalah kerajinan tangan (ATBM). Produksi “Sarung Goyor” ramai saat menjelang bulan puasa dan hari raya saja.
Pada tahun 2000 mulailah tercetus ide untuk membuat kain tenun ikat yang dapat dinikmati masyarakat tanpa melihat musim. Dengan diprakarsai Ibu Walikota yang menjabat saat itu, mulailah pengrajin tenun ikat membuat kain tenun ikat (ATBM). Hal ini mendapatkan respon positif dari masyarakat. Warga Kediri yang awalnya tidak tau akan kerajinan tenun ikat “Bandar Kidul Kediri”, sekarang menjadi tahu setelah kemunculan produk kain tenun.
Bandar Kidul Kota Kediri merupakan daerah kerajinan tangan yang mengolah produk mentah berupa benang hingga menjadi produk setengah jadi berupa kain tenun. Dalam proses pembuatanya tenun ikat Bandar kidul masih menggunakan alat yang sederhana bahkan setiap proses masih dikerjakan secara manual tanpa menggunakan mesin.
Dalam perkembangannya kerajinan tenun ikat Bandar kidul mengalami penurunan dan peningkatan. Hal ini karena kurangnya kesadaran masyarakat akan produk lokal dan produk tradisional sehingga permintaan akan produk menurun. Hal ini akhirnya membuat jumlah pengrajin tenun ikat terus berkurang.
Dampak krisis ekonomi tahun 1997, telah membuat banyak kerajinan tangan tenun ikat terhenti. Mahalnya bahan baku dan rendahnya harga jual membuat pengrajin terpaksa harus menghentikan produksinya.
Saat krisis ekonomi mulai membaik, pengrajin mulai membuat tenun ikat kembali dengan modal seadanya. Banyak dari pengrajin yang tidak melanjutkan usahanya kembali karena telah menemukan pekerjaan yang lebih menjamin hidup mereka. Bahkan kebanyakan dari pengrajin telah menjual alat produksi tenun ikat ATBM saat krisis moneter melanda.
Data dari survey lapangan tentang jumlah pengrajin tenun ikat ATBM Bandar kidul yang di tahun 1990-2004 terdapat 25 badan usaha yang memproduksi kain tenun. Dari data yang diperoleh menyatakan bahwa setiap pengrajin memiliki merk yang sama, karena mereka belum berfikiran mengenai pemberian brand pada produk mereka, mereka hanya membuat merk sesuai denga merk sarung yang diminati saat itu. Dan pada saat perekonomian dunia membaik (2014), para pengrajin tenun mulai memproduki sarung goyor, namun tidak semua pengrajin memproduksi tenun.
Proses produksi kain tenun “Ikan Bandar”, bisa dimulai dengan cara pencelupan benang. Dalam proses ini benang putih gulungan dipilah-pilah lalu di beri zat warna sesuai dengan yang dikehendaki. Warna yang ada dalam proses ini nantinya akan menjadi warna dasar kain. Proses selanjutnya yakni Pemintalan. Proses pemintalan dilakukan dengan cara menggulung benang yang sudah di beri zat warna ke dalam kelos (tempat penggulung benang). Banyaknya pintalan benang yang dibutuhkan untuk membentuk satu lungsi sebanyak 90 pintalan. Proses selanjutnya yakni Skeer, Proses skeer adalah menata benang yang sudah dipintal kedalam bum. Penataan benang dilakukan dengan cara memutar alat skeer sampai dengan hitungan tertentu sesuai dengan yang ditentukan. Bum sendiri adalah tempat untuk menggulung benang bum inilah yang nantinya menjadi tempat gulungan benang lungsi. Bum terbuat dari kayu yang dibentuk melingkar agar mudah dalam menata benang. Proses yang terakhir yakni melalukan Grayen. Grayen merupakan proses yang dilakukan untuk menyambung benang lama yang telah habis dengan benang baru yang tertata di bum. Proses ini membutuhkan ketelitian karena prosesnya harus menyambungkan benang lama dengan benang baru satu persatu.
Berbicara tentang proses pembuatan pakan/umpan, ada beberapa macam prosesnya yakni pertama Pemintalan benang putih dalam proses ini sebenarnya sama dengan proses pemintalan benang pada proses pembuatan lungsi hanya saja yang membedakan pada proses ini benang yang digulung masih berupa benang putih yang nantinya akan diproses menjadi umpan/pakan.
Kedua, proses Reek/ menata benang pada bidangan adalah proses menata benang putih yang sudah dipintal ke dalam bidangan, bidangan merupakan tempat menata benang yang selanjutnya penataan pada bidangan ini akan di bentuk pola atau desain.
Ketiga, Desain. Pemberian desain pada tenun ikat sangat berbeda dengan pemberian desain pada batik. Pemberian desain pada tenun ikat dilakukan di atas benang yang telah ditata sebelumnya. Desain yang dibuat harus mempertimbangkan masuk tidaknya zat warna saat pencelupan.
Keempat, Pengikatan Motif. Proses ini dilakukan dengan cara mengikat motif yang telah dibuat dengan teknik khusus menggunakan rafia. Dahulu tenun ikat Bandar kidul menggunakan pelepah pisang untuk bahan pengikatan motif, akan tetapi hasilnya kurang maksimal lalu mereka mulai beralih mengggunakan tali plastic/raffia. Konsep pengikatan tenun ikat ini hamper sama dengan konsep pemberian malam pada batik. Bagian yang teleh diikat tidak akan terkene zat warna saat pencelupan, bekas ikatan inilah yang akhirnnya membentuk motif tenun ikat.
Kelima, Pencelupan. Pencelupan pada proses pembuatan pakan hamper sama dengan pencelupan pembuatan lungsi hanya saja untuk pembuatan pakan warna yang digunakan lebih berfariasi dari lungsi. Karena tiap desain mungkin akan di beri warna yang berbeda sesuai pesanan.
Keenam, Colet/ Pemberian Warna Kombinasi. Proses colet adalah pemberian warna selain warna dasar pada benang agar produk yang dihasilkan lebih menarik, biasanya pada saat pengikatan sudah ditandai dengan warna raffia yang berbeda agar memudahkan mencari mana saja yang harus diberi warna kombinasi.
Ketujuh, Pelepasan Tali/ Oncek. Pelepasan tali dimulai dengan cara melepas semua ikatan pada benang yang dilakukan saat prosek pengikatan.
Kedelapan, Penguraian Benang. Penguraian benang dilakukan untuk memisahkan helai demi heai benang yang nantinya ini akan memudahkan dalam proses pemintalan pakan.
Kesembilan, Pemintalan Pakan Pada Palet. Pemintalan pakan sebenarnya sma dengan pemintalan saat pembuatan lungsi hanya saja tempat untuk memintalnya berbeda. Pada pemintlan pakan digunakan palet atau tempat menggulung benang yang bentuknya lebih kecil sehingga bisa masuk dalam teropong.
Terakhir yakni Proses Tenun. Proses tenun merupakan proses akhir dari pembuatan tenun ikat. Dalam proses ini menggunakan alat tenun ikat (ATBM). (Novi BMW)
REFERENSI:
- Tim Bank Indonesia. 2015. Profil Tenun Ikat Bandar Kidul. Kediri: Bank Indonesia
- Sulistyawati, Ida. 2008. Kain Tenun Ikat Kediri. (Skripsi) Surabaya: STKW
- De Locomotief, terbit pada Rabu, 09 Maret 1938, “Tenoen 1925”
- De Indische Courant, terbit pada Senin, 12 Juli 1937, “Inheemsche Nijverheid”