Data kesejarahan Kabupaten Magetan yang terdapat di berbagai sumber saat ini lebih banyak didominasi oleh sejarah pada masa Islam dan Kolonial yaitu pada masa Kerajaan Mataram Islam (1588 – 1681 Masehi). Hal ini mungkin terjadi dikarenakan sejarah asal mula nama Kabupaten Magetan itu sendiri yang terjadi pada masa Kerajaan Mataram Islam. Sebenarnya bukti-bukti artefaktual yang tersebar di berbagai lokasi di wilayah Magetan menunjukkan bahwa jauh sebelumnya di wilayah ini telah terdapat suatu kelompok masyarakat dengan latar belakang keagamaan Hindu. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan sisa-sisa tempat peribadatan umat Hindu berupa candi dan petirtaan. Selain itu ditemukan pula prasasti-prasasti yang menggunakan aksara kawi (aksara jawa kuna), bahkan beberapa buah diantaranya menunjukkan ciri khas penulisan aksara kawi kwadrat yang berasal dari masa Kerajaan Kadiri (1104 – 1222 Masehi). Oleh karena itu dapat diperkirakan wilayah Magetan telah dihuni dan berkembang paling tidak sejak masa klasik, khususnya masa Kerajaan Kadiri.
Mengenai asal mula nama Kabupaten Magetan diuraikan dalam sebuah buku berjudul “Apa & Siapa Magetan” sebagai berikut : Sejarah mencatat bahwa Kabupaten Magetan dahulu merupakan daerah mancanegara Kerajaan Mataram Islam. Sejarah berdirinya Kabupaten Magetan ini tidak terlepas dari berbagai peristiwa penting yang terjadi di Kerajaan Mataram Islam dan keterlibatan VOC di dalamnya. Pada tahun 1646 Sultan Amangkurat I naik menjadi pemegang tahta Kerajaan Mataram menggantikan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang wafat pada tahun 1645. Pada tahun 1646 Sultan Amangkura I mengadakan perjanjian dengan VOC yang menyebabkan VOC dapat leluasa memperkuat diri dan memperluas pengaruh ke dalam wilayah Kerajaan Mataram Islam. Akibat dari hal ini adalah Kerajaan Mataram menjadi semakin lemah, pelayaran perdagangan semakin dibatasi antara lain tidak boleh berdagang ke Pulau Banda, Ambon, dan Ternate. Peristiwa di atas menyebabkan tumbuhnya tanggapan yang negative terhadap Sultan Amangkurat I di kalangan keraton, lebih-lebih di pihak oposisi, termasuk putranya sendiri yaitu Adipati Anom yang kelak bergelar Sultan Amangkurat II.
Kejadian-kejadian di pusat pemerintahan Kerajan Mataram Islam ini selalu diikuti dengan seksama oleh Daerah Mancanegara, sehingga Pangeran Giri yang sangat berpengaruh di daerah peisisir utara Pulau Jawa mulai bersiap-siap melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Pada masa itu seorang pangeran dari Madura bernama Trunojoyo juga sedang sangat kecewa terhadap pamannya yang bernama Pangeran Cakraningrat II karena beliau mengabaikan Madura dan hanya bersenang-senang saja di pusat pemerintahan Mataram Islam.
Trunojoyo kemudian melancarkan pemberontakan kepada Mataram pada tahun 1647. Pemberontakan itu didukung oleh orang-orang dari Makasar. Dalam suasana seperti itu kerabat Keraton Mataram yang bernama Basah Bibit (Basah Gondo Kusumo) dan Patih Mataram yang bernama Patih Nrang Kusumo dituduh bersekutu dengan para ulama yang beroposisi dengan menentang kebijaksanaan Sultan Amangkurat I. Atas tuduhan ini Basah Gondokusumo diasingkan ke Gedong Kuning di Semarang selama 40 hari, di tempat kediaman kakeknya yang bernama Basah Suryaningrat. Patih Nrang Kusumo meletakkan jabatan dan kemudian pergi bertapa ke daerah sebelah timur Gunung Lawu. Beliau diganti oleh adiknya yang bernama Pangeran Nrang Boyo II. Di dalam pengasingan ini Basah Gondokusumo dan Basah Suryaningrat pergi ke daerah sebelah timur Gunung Lawu karena diberitakan sedang diadakan babat hutan oleh Ki Buyut Suro (Ki Ageng Getas). Pelaksanaan babat hutan ini atas dasar perintah Ki Ageng Mageti sebagai cikal bakal daerah tersebut. Untuk mendapatkan sebidang tanah sebagai tempat bermukim di sebelah timur Gunung Lawu itu, Basah Suryaningrat dan Basah Gondokusumo menemui Ki Ageng Mageti di tempat kediamannya yaitu di Dukuh Gandong Kidul, tempatnya di sekitar alun-alun Kota Magetan saat ini, dengan perantara Ki Ageng Getas. Hasil dari pertemuan ini Basah Suryaningrat mendapat sebidang tanah di sebelah utara Sungai Gandong, tepatnya di Kelurahan Tambran Kecamatan Kota Magetan saat ini. Peristiwa ini terjadi setelah melalui perdebatan yang sengit antara Ki Ageng Mageti dengan Basah Suryaningrat hingga akhirnya Ki Ageng Mageti mempersembahkan seluruh tanah miliknya sebagai bukti kesetiaannya kepada Kerajaan Mataram Islam. Selanjutnya Basah Suryaningrat mewisuda Basah Gondokusumo menjadi penguasa di tempat baru itu dengan gelar Yosonegoro yang kemudian dikenal sebagai Bupati Yosonegoro. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 12 Oktober 1674 dengan condrosengolo “Manunggaling Roso Suko Hambangun”. Atas jasa-jasa Ki Ageng Mageti maka kemudian wilayah tersebut diberi nama “Magetan”.
(Lap.Verifikasi CB Kab.Magetan 2011)