Sejarah Blitar

0
2870

Kota Blitar yang terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur terkenal sebagai tempat dimakamkannya Presiden pertama Republik Indonesia, disebut sebagai Kota Patria dan juga Kota PETA, menyimpan banyak peninggalan cagar budaya.

Nama Blitar dipercaya berasal dari frase bali dadi latar (kembali menjadi halaman). Kata tersebut diteriakkan oleh Prabu Mahesa Sura saat meregang nyawa di sumur yang dibuatnya sendiri sebagai mahar untuk Dewi Kilaswara.

Kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa Raja Airlangga meminta Mu Bharada untuk membagi Kerajaan Singasari menjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Mpu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian. Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.

Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa bala tentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor….langsung menuju Singosari. Nama atau kata Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa …di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar.

Berdasarkan legenda, bangsa Tartar dari Asia Timur sempat menguasai daerah Blitar yang saat itu belum bernama Blitar. Majapahit saat itu merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya tersebut kemudian mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur bangsa Tartar.

Keberuntungan berpihak pada Nilasuwarna, ia dapat mengusir bangsa Mongolia itu. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar sebagai Adipati Aryo Blitar I untuk kemudian memimpin daerah yang berhasil direbutnya tersebut. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa Tartar.

Pada perkembangannya terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh Kinareja yang tak lain adalah patihnya sendiri. Konflik ini terjadi karena Sengguruh ingin mempersunting Dewi Rayung Wulan, isteri Aryo Blitar I. Aryo Blitar I lengser dan Sengguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Joko Kandung, putra dari Aryo Blitar I. Kepemimpinan Joko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda. Sebenarnya rakyat Blitar yang multietnis saat itu telah melakukan perlawanan, tetapi diredam oleh Belanda.

Kota Blitar berstatus gemeente pada tanggal 1 April 1906. Pada jaman pendudukan Jepang berdasarkan Osama Seirei tahun 1942, kota ini disebut sebagai Blitar-shi. Dalam perkembangannya nama Kota Blitar maupun luas wilayahnya sering berubah-ubah. (Lap.Inventarisasi ODCB Kota Blitar, 2016)