Alun-Alun Kota Blitar merupakan salah satu tinggalan saksi bisu perjalanan sejarah Kabupaten Blitar masa kolonial Belanda. Sebelum tahun 1848 pusat pemerintahan Kabupaten Blitar tidak berada di wilayah Kota Blitar seperti saat ini, bupati pertama Blitar R.M. Aryo Ronggo Hadinegoro memindahkan pusat pemerintahan dari pinggir sungai Pakunden ke wilayah Kota Blitar saat ini karena pusat pemerintahan sebelumnya terkena letusan Gunug Kelud. Pembangunan alun-alun tampaknya bersamaan dengan pembangunan rumah tinggal Bupati yang berada tepat di depannya yaitu kurun waktu 1875, saat itu Bupati Blitar oleh KPH. Warsoekoesomo (Gudel,2006:65).
Terjadinya pergeseran fungsi alun-alun pada masa kolonial Belanda juga dirasakan pada kurun waktu 1880an dimana alun-alun Blitar banyak difungsikan bagi kegiatan kerakyatan dibanding dengan fungsi awal alun-alun sendiri yang lebih bersifat sakral. Dari foto-foto lama alun-alun Blitar tampak kegiatan seperti Rampongan Macan sering diadakan di alu-alun. Sebuah tontonan perburuan macan jawa yang sangat diminati kala itu. Alun-alun juga difungsikan sebagai tempat berjualan aneka makanan dan minuman.
Saat ini Alun-alun Blitar secara fisik telah berubah, hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya pohon bringin kembar yang menjadi simbol sebuah alun-alun, juga tampak pada jalan aspal yang dibangun pada area alun-alun serta berbagai jenis tanaman yang mengitari alun-alun. Saat ini fungsi alun-alun merupakan elemen ruang terbuka kota sebagai tempat aktivitas masyarakat. (Lap. Inventarisasi ODCB di Kota Blitar Tahap II 2015)