Prasasti ini ditemukan dari kegiatan ekskavasi Situs Gemekan Dusun Kedawung Desa Gemekan Kecamatan Sooko pada tanggal 9 Februari 2022, terbuat dari batu andesit dan terpendam di tanah di kedalaman 130 cm di sudut timur laut.
Melalui pembacaan prasasti diketahui bahwa prasasti ini mencatat penetapan tanah tarukan atau sima oleh Mpu Sindok pada jaman Kerajaan Medang atau Sri Maharaja Rakai Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa, prasasti bertanggal 852 Saka atau 930 Masehi. Penetapan sima atau lahan perdikan berarti sebidang lahan produktif (sawah, kebun, atau bahkan desa) yang memiliki status bebas pajak, yang dihadiahkan oleh penguasa setempat kepada warga wilayah tersebut.
Disebutkan tanah sima tersebut terletak di desa baru bernama Masahar. Di masa Mpu Sindok desa ini berada di Watek Padang yang diduga kumpulan desa yang setingkat kabupaten yang lebih luas dibandingkan kecamatan.
Tanah seluas 3 tampah tersebut bukan hasil pembelian Raja Mpu Sindok namun Rakai Hanyangan Lampuran Pu Wawu dan isterinya Dyah Parhyangan yang membeli dengan mata uang emas sebesar 3 kati dan 5 suwarna. Pada masa Jawa Kuno, mata uang emas mempunyai satuan kati, suwarna, masa, dan kupang. 1 kati sama dengan 20 suwarna. 1 suwarna sama dengan 16 masa, 1 masa sama dengan 4 kupang.
Rakryan Bini Haji atau istri selir Raja Mpu Sindok bernama Rakai Sri Manggala. Artinya, kala itu Raja Medang itu mempunyai dua selir. Karena Mpu Sindok juga mempunyai istri selir bernama Rakryan Mangibil yang disebutkan di Prasasti Wulig.
Prasasti Wulig ditemukan di Desa Bakalan, Gondang, Kabupaten Mojokerto. Prasasti ini dikeluarkan tanggal 8 Januari 935 masehi. Salah satu isinya tentang Rakryan Mangibil meresmikan 3 bendungan di Kahulunan, Wuatan Wulas, dan Wuatan Tamya.
Sedangkan istri Mpu Sindok yang menjadi permaisuri dimuat dalam Prasasti Geweg. Sang Permaisuri bernama Rakryan Sri Prameswari Sri Warddhani Pu Kebi. Prasasti yang ditemukan di Desa Tengaran, Peterongan, Jombang ini dikeluarkan 14 Agustus 933 masehi silam. Isinya tentang penetapan Desa Geweg menjadi sima.
Sima memang biasa disebut tanah bebas pajak. Namun, masyarakat yang tinggal di tanah sima sejatinya tetap kena pajak. Termasuk juga tanah sima di Desa Masahar. Hanya saja kala itu pajak dipungut dari rakyat tidak untuk disetorkan ke Kerajaan Medang maupun Mpu Sindok tapi digunakan untuk mengelola bangunan suci di dekatnya.
Tanah yang dibatasi itu merupakan sima punpunan. Yaitu tanah sima untuk kepentingan suatu bangunan suci. Letak tanah sima ini dekat dengan bangunan suci bernama Prasada Kabhaktyan Pangurumbigyan.
Pajak dari tanah sima itu dibagi tiga. Sepertiga untuk pemilik tanah Rakai Hanyangan, sepertiga untuk berbagai keperluan peribadatan bernama Prasada Kabhaktyan Pangurumbigyan, sepertiga sisanya untuk membayar penjaga dan perawat bangunan suci itu.