Petirtan Penataran mengusung konsep arsitektur yang khas dengan konsep kesucian dan berbeda dengan petirtan lainnya. Petirtan pertama menyajikan konsep Gunung Mahameru yang dikelilingi delapan gunung sebagai tempat dewata Nawasanga, berdasarkan adanya sembilan miniatur candi dengan miniatur terbesar berada di tengah. Petirtan kedua memiliki konsep budi pekerti, disampaikan melalui pengukiran relief-relief fabel yang lazim disebut Tantri Kamandaka. Walau keduanya terlihat berbeda, akan tetapi sama-sama membawakan konsep tentang kesucian, yakni kesucian alam dewa yang disimbolkan gunung dalam miniatur dan kemurnian budi pekerti binatang. Konsep kesucian tersebut sesuai dengan peran dari petirtan yang mengalirkan air suci dalam kepercayaan Hindu.
Pengertian petirtan menurut Cahyo Junaedi dalam skripsinya berjudul ‘Perbandingan Bentuk Pathirtān di Jawa Timur Abad IX –XV (Tinjauan Analisis Arsitektur dan Keletakannya)’ merupakan bangunan yang menggunakan air sebagai komponen utamanya dengan gaya arsitektur yang disesuaikan dengan makna dan kebutuhan air tersebut. Melalui petirtan, masyarakat dapat mengambil air suci yangdigunakan sebagai sarana peribadatan, yang dalam mitologi Hindu dikaitkan dengan air keabadian (tirta amerta). Konsep dari Tirta Amerta banyak dikisakan dalam beberapa karya sastra dan legenda lokal, seperti kisah Samudramanthanayang berkisah tentang pengadukan lautan susu, Adiparwa, Parthayajña, Ghatotkacasraya, Garudeya, Nawaruci/Bima Suci, Kala Rahu dan Mayadenawa.
Bangunan petirtan pada kawasan Candi Panataran memiliki dua jenis, masing-masing berada di bantaran Sungai Tanen yang bersumber dari kaki Gunung Kelud. Petirtan pertama yang berada di dekat Pasar Penataran berupa dua bilik yang dipercaya masyarakat merupakan pembagian ruangan khusus untuk pria dan wanita. Konsep tersebut didasarkan pada temuan arca Parwati yang dulu berada di atas jaladwara pada bilik selatan. Kini arcanya telah hilang menyisakan sandaran saja. Petirtan pertama menggunakan sumber air dari tebing sebagai pemasok air yang mengalir melalui jaladwara lalu turun ke sungai. Struktur tersebut diperkirakan sebagai tempat penyucian bagi para peziarah sebelum memasuki Percandian Panataran berdasarkan keletakannya.
Petirtan kedua 300 meter di tenggara Percandian Panataran, berada di kedalaman 4 m di atas permukaan tanah masa kini. Bangunan tersebut memanfaatkan sumber air yang menyembul dari sisi barat, kemudian keluar melalui saluran di selatan, dekat pintu masuk petirtan. Bangunannya tersebut berupa kolam dengan ketiga sisinya (utara, barat dan selatan) dipahatkan relief Tantri Kamandaka. Relief yang dipahatkan mengisahkan tentang Lembu dan Buaya, Candapinggala, Kura-kura dan Burung serta Monyet dan Pemburu. Pada masing-masing cerita yang dipahatkan pada bangunan yang bertanggal 1337 Saka/1415 Masehi tersebut memiliki nilai kehidupan yang berbeda-beda. Lembu dan Buaya berkisah tentang kebaikan lembu menolong buaya malah kemudian dibalas kejahatan oleh buaya yang hendak menerkamnya. Kisah Candapinggala mengajarkan tentang persahabatan singa dengan lembu yang harus dijaga dengan erat, jangan sampai nanti terhasut tipu muslihat serigala. Relief Kura-kura dan Burung mengajarkan tentang upaya menjaga amanah yang diberikan oleh burung dan pandai mengontrol emosi agar tidak celaka. Relief Monyet dan Pemburu mengajarkan tentang pentingnya menjauhi sikap saling menjatuhkan antarsesama, sebab nantinya semuanya tidak akan mendapatkan apa-apa. Secara fungsional, Petirtan II diperkirakan sebagai tempat pengambilan air guna keperluan ibadah. (Yusuf).