Petirtaan Belahan terletak di Dusun Belahan Jowo, Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol., Kabupaten Pasuruan. Lokasi petirtaan ini berada di pinggir jalan desa yang menghubungkan antara Desa Jeruk Purut dan Wonosunyo. Petirtaan ini dibuat dengan bahan batu andesit dan sebagian besar dari bata. Bentuknya sekarang hanya terdiri dari dinding berdenah leter L dan sebuah kolam. Kolam berbentuk empat persegi panjang dengan dinding kolam dari batu andesit. Dasar/lantai kolam juga terbuat dari batu andesit, tetapi sebagian telah terlepas. Dinding sebagian besar tersusun dari bata. Dinding barat terbagi menjadi dua. Dari dasar kolam hingga sekitar 70 cm ke atas merupakan susunan batu andesit dan selebihnya merupakan tatanan bata. Bagian belakang dinding barat petirtaan ini susunan batanya telah banyak yang melesak. Pada bagian depan dinding barat ini terdapat tiga relung yang meruncing ke atas. Relung selatan digunakan untuk meletakkan arca Dewi Laksmi sedangkan relung utara digunakan untuk meletakkan arca Dewi Sri yang memancurkan air dari kedua payudaranya. Sedangkan di tengah antara keduanya terdapat relung dengan bentuk yang sama tetapi berukuran relatif kecil. Relung ini setengahnya telah ditutup dengan susunan bata dan di bawahnya terdapat dua batu andesit berbentuk persegi. Di sebelah relung arca Dewi Sri terdapat relief berupa seorang laki-laki memakai sorban, berperut buncit, memakai upawita dan dikelilingi oleh hiasan sulur di kanan dan kirinya. Dinding selatan berukuran tingginya 3 m lebar 8.5 meter dan tersusun dari bata sedang dinding barat lebarnya 6 cm tingginya 3,5 cm . kolam berukuran lebar 4,5 m dan panjangnya 6 m. Kondisi batanya telah banyak yang patah dan susunannya tidak lagi rapi. Bagian belakang dinding menempel pada tanah tebing di sampingnya. Dari dinding tersebut merembes air yang mengalir menuju kolam. Debit air yang keluar dari dinding tersebut terlihat lebih besar dari sumber air yang keluar dari Arca Dewi Sri. Bahkan untuk menyalurkannya ke kolam dipasang sebuah pipa besi.
Petirtaan yang dikenal juga dengan nama Sumber tetek ini tidak memiliki inskripsi angka tahun, yang bisa dijadikan penanda awal pembangunannya. Karena itu berkembang beberapa pendapat tentang kedudukan petirtaan ini dalam kronologi sejarah Jawa. G.P. Roufaer menyatakan bahwa Petirtaan ini merupakan pendarmaan Airlangga dengan arca perwujudannya berupa Wisnu naik Garuda. Pendapat Roufaer ini didukung oleh N.J. Krom dan W.F. Stutterheim. Terdapat sebuah kronogram berupa relief kala, yang oleh Stutterheim, relief tersebut dibaca Candra Resi Rahu atau 971 Saka/1049 M yang bertepatan dengan wafatnya Airlangga. Selain itu keberadaan Arca Wisnu yang digambarkan duduk di punggung Garuda–sekarang disimpan di Unit Pengelolaan Informasi Majapahit di Trowulan, dianggap oleh Krom sebagai arca perwujudan Airlangga.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Th. Resink. Menurutnya, Belahan merupakan kolam suci yang terdapat dalam sebuah komplek bangunan suci di Penanggungan. Tempat suci lainnya adalah pendarmaan Rakryan Bawang yang terletak di atas bukit, sebelah selatan Belahan. Tetapi sayangnya, bangunan tersebut kini tidak ada lagi. Menurut Resink, Airlangga setelah meninggal disebut dengan nama Batara Guru, atau Siwa. Maka seharusnya arca perwujudan Airlangga adalah Arca Siwa. Kesimpulan Resink tersebut mendapat dukungan dari Boechari, ia menyatakan bahwa jika arca Wisnu duduk di punggung Garuda itu berasal dari Belahan maka arca itu harus sesuai jika ditempatkan pada relung dangkal di tengah dinding belakang yang kosong. Akan tetapi ukuran arca itu terlalu besar untuk relung dinding belakang yang lebih sempit. Artinya arca Wisnu tersebut harus berasal dari tempat lain. Dalam Prasasti Çunggrang 929 M yang dikeluarkan oleh Pu Sindok yang berada sekitar 5 km di timur laut Belahan menyebutkan tentang tiga bangunan yang berada di Gunung Pawitra/Penanggungan. Ketiganya adalah Dharma Rama (pertapaan), Prasada Silunglung sebagai tempat pendarmaan Rakryan Bawang dan Sang Hyang Tirta Pancuran. Bangunan terakhir inilah yang diidentifikasikan sebagai Petirtaan Belahan. Pendapat ketiga, yang lebih baru, diungkapkan oleh Agus Aris Munandar. Dari hasil analisisnya terhadap bahan pembentuk dinding dan seni arca yang terdapat di Belahan menunjukkan bahwa gaya tersebut berasal dari masa yang lebih muda dari masa Pu Sindok. Agus Aris Munandar berkeyakinan bahwa Belahan sejatinya dibangun pada masa Majapahit atau abad 14. Ciri-ciri arca sebagaimana yang dimiliki oleh 2 arca dewi di Belahan adalah hal yang lazim dijumpai pada arca-arca zaman Majapahit (abad ke-14 M). Lagi pula ukuran tinggi arca-arca dewi di Belahan kurang lebih sama dengan arca Parwati dari Candi Ngrimbi dan juga arca Hari-Hara dari Simping, yaitu sekitar 2 m. Garis-garis yang keluar dari kepala arca juga dijumpai pada arca Hari-Hara, Parwati, dan arca-arca perwujudan zaman Majapahit lainnya bahkan yang berasal dari abad ke-15 M, Garis-garis itu hendak menyatakan kesucian tokoh arca yang disebut dengan “Sinar Majapahit”. Pada arca-arca zaman sebelumnya tidak pernah dijumpai adanya garis-garis sinar seperti itu. Pita-pita yang berkibaran di kanan-kiri kepala juga dijumpai pada arca Hari-Hara dan Parwati yang keduanya menggambarkan tokoh Raden Wijaya dan Tribhuwanottunggadewi. Pita-pita tersebut terus digambarkan pada arca-arca perwujudan zaman Majapahit lainnya. Ukuran arca di Belahan juga sesuai dengan arca-arca yang terdapat di Candi Ngrimbi dan Simping yang dibuat di awal abad ke-14 M. Konstruksi bata dan arca batunya juga mirip dengan kepurbakalaan Majapahit lainnya seperti Candi Jawi, Jago, Panataran, petirthaan Watu Gede, dan lainnya. Menurut Agus Aris Munandar, petirtaan ini dibangun untuk menjadi semacam oposisi Petirtaan Jalatunda. Jalatunda merupakan petirtaan yang dibangun oleh Wangsa Isana, keturunan Pu Sindok. Lokasinya berada di barat Gunung Penanggungan. Wangsa ini berakhir setelah Kertajaya ditaklukkan Ken Arok di Ganter pada 1222. Wangsa keturunan Ken Arok yang memerintah Singosari dan Majapahit kemudian membangun petirtaan tandingan di lereng timur Penanggungan. Keduanya sama-sama mengharap keberkahan dari air amerta dari Gunung Pawitra/Penanggungan yang dianggap sebagai simbol Mahameru di Pulau Jawa.
Kegiatan pelestarian yang pernah dilakukan pada Petirtaan Belahan ini adalah Kegiatan Registrasi dan Inventarisasi Tahun 1988 oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbalaka Jawa Timur Tahun 1988, Kegiatan Deliniasi Kawasan Gunung Penanggungan Tahun 2017 dan Kegiatan Pemetaan dan Penggambarantahun 2021 (imam Rofii, Unit Pubdok, BPK XI)
Sumber Data :
- Laporan Verifikasi tahun 2015
- Trigangga, Prasasti di Petirtaan Belahan : Catatan Peristiwa Gerhana Bulan ?, Makalah dalam seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno. Sejarah Kuno Indonesia.