Penyewaan Tanah di Situbondo pada masa kolonial

0
1733

Wilayah Situbondo dianggap potensial secara ekonomis sehingga oleh pemerintah VOC dijadikah lahan mengeruk uang dengan menyewakan kepada orang-orang Cina. Dua keluarga Cina yang memiliki pengaruh luas di Situbondo adalah keluarga Tan dan keluarga Han.

Keluarga Han bisa menguasai daerah Situbondo karena kedekatannya dengan Hendrik Breton, pemimpin VOC (gezaghebber) untuk daerah uung timur Jawa (Oosthoek) yang berpusat di Semarang. Breton menjadi penguasa ujung timur Jawa pada antara 1750-1760an, setelah sebelumnya menjadi residen di Rembang. Ketika menjabat sebagai gezaghebber, Breton mengangkat Soeropernolo sebagai kepala polisi untuk daerah Panarukan Soeropernolo adalah anggota keluarga Han yang telah menjadi muslim pasca pembantaian orang-orang Cina di Batavia, peranakan Cina dan Jawa. Bapaknya adalah  Han Hin Song dan ibunya adalah seorang putri bupati Rajekwesi (Bojonegoro). Koneksinya dengan Breton itulah yang memberikannya kekayaan dan pengaruh yang kuat untuk menjamin masa depan keluarganya. Salah satu anaknya, Baba Midun, yang juga dikenal dengan nama Soeroadiwikromo, menjadi rangga di Besuki (1776) dan kemudian pada 1794 menjadi tumenggung di Puger (Jember) dan Besuki.

Penyewaan lahan kepada swasta merupakan praktik yang juga diberlakukan VOC kepada daerah-daerah kekuasaannya yang lain. Pemegang konsesi kemudian berhak memungut pajak partanian dan memonopoli penjualan komoditas-komoditas tertentu yang dihasilkan daerah yang disewanya. Keuntungan yang mereka dapatkan dengan menguasai konsesi itu tidak sedikit. Misalnya Han Boeyko yang menyewa Panarukan dan Besuki sejak 1771, pada 1798 dia mendapat keuntungan 16.750 rix-dollars (Rijksdaalder) pertahun dari hanya dua daerah itu saja. Dengan keuntungan yang sangat besar VOC terkadang juga meminta bagi hasil yang lebih besar. Pieter Gerardus van Overstraten yang menjadi gubernur jenderal VOC pada 1796-1801 pernah menaikkan nilai sewa tahunan Panarukan dan Besuki.

Konsesi sewa yang dijual VOC sebenarnya memiliki durasi selama lima tahun. Tetapi untuk Ulujami (Pemalang), Panarukan dan Besuki tampaknya dibuat pengecualian. VOC membuat rencana agar konsesi ketiga daerah itu tetap berada di tangan orang-orang Cina. Karena terbukti bahwa menjual konsesi, bagi pemerintah VOC lebih menguntungkan daripada mengelola sendiri atau menyerahkan pada penguasa pribumi.

Kekuasaan keluarga Han atas daerah Situbondo berlangsung bahkan hingga bangkrutnya VOC tahun 1799. Tahun 1796 kompeni mengijinkan Han Tianpit untuk menyewa tanah di Besuki dan Panarukan selama seumur hidup. Tetapi karena perubahan kondisi politik dan ekonomi, pemerintah Hindia Belanda mengambilnya kembali. Daendels memutuskan untuk menjual tanah tersebut tahun 1910 guna mengatasi masalah keuangan Negara, dan Han Tianpit membelinya kembali untuk dijadikan tanah partikelir. Namun kemampuan ekonominya tidak mencukupi untuk melunasi cicilan tanah itu. Kemudian meminta tanah itu kembali diambil Negara dan setelah itu dia pindah ke Surabaya (Sam Setyautama, 2008:80). Daendels tidak hanya meneruskan kebijakan rezim sebelumnya, ;dia bahkan bertindak lebih jauh. Dia meniru langkah Perancis dengan mencetak uang kertas assignat (mata uang yang berlaku di Perancis saat itu) dan menjadikan tanah Besuki dan Panarukan sebagai jaminannya.

Kebijakan penjualan hak sewa atas Panarukan dan Besuki baru berakhir saat Raffles berkuasa. Pada 1812 Raffles sebenarnya masih berpendapat bahwa penjualan tanah tersebut merupakan langkah yang tepat. Meskipun dia juga tidak dapat membiarkan suatu daerah kantong Cina lolos dari penguasaan Batavia. Perubahan sikap Raf;fles baru berubah pada 1813 ketika pecah pemberontakan rakyat di tanah Probolinggo dan Han Ki Ko, penguasa Probolinggo yang juga saudara Han Tianpit, terbunuh. Selepas pemberontakan itu Raffles mengutus J.Crawford untuk menyelidiki sebab-sebab pemberontakan. Crawfur membuat analisa bahwa “Negara kecil dalam Negara” itu memalukan dan harus cepat-cepat dibasmi. Maka diambil keputusan untuk membeli kembali tanah-tanah itu dari Han Tianpit, satu ahli waris Han Ki Ko, sehingga dengan demikian berakhirlah kekuasaan orang-orang Cina atas daerah tersebut  (Dennys Lombard, 1996:81).

(Lap. Keg. Inventarisasi ODCB Bangunan Kolonial Kab. Situbondo, 2016)