Malang – Pada tanggal 27 Februari 2020, BPCB Jawa Timur bersama Komunitas Bumi Palapa mengadakan kegiatan peninjauan temuan di Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Kegiatan ini untuk menindaklanjuti laporan Suryadi (60 tahun) tentang adanya dugaan candi yang berada di tengah-tengah perkebunan tebu milik masyarakat.
Masyarakat sekitar menyebut lokasi itu dengan sebutan gumuk (gundukan tanah). Gundukan tanah tersebut berada di lahan milik Bpk Riyamun yang berukuran kurang lebih 6 m x 6 m dengan ketinggian 2 meter dari permukaan tanah eksisting. Gundukan tersebut saat ini ditumbuhi oleh tanaman rumput gajah yang cukup lebat dengan ketinggian 1,5 m hingga 2m.
Di tengah gundukan tanah tersebut terdapat Yoni berbahan batu andesit yang berbentuk kubus dengan dengan panjang 90 cm, lebar 90 cm, dan tinggi 90 cm. Cerat Yoni menghadap ke Timur dengan posisi miring ke selatan dan terlihat dalam kondisi melesak. Tidak jauh dari Yoni terdapat batu andesit persegi yang cukup besar dengan ukuran panjang 90 cm, lebar 55 cm, dan tebal 18 cm. Di sekeliling gundukan tampak sebaran bata dalam kondisi tidak beraturan dengan ketebalan bata 10-11 cm. Survey permukaan tidak dapat dilakukan dikarenakan tanaman rumput yang cukup lebat.
Menurut cerita masyarakat sekitar, dahulu di lokasi ini juga setidaknya terdapat 4 arca dari batu. Namun arca-arca tersebut telah lama hilang diambil orang, yang kini hanya menyisakan batu meja (yoni) saja. Dari cerita masyarakat itu, dugaan adanya runtuhan bangunan candi bata di lokasi ini pun semakin menguat.
Nama Desa Srigading tidak ditemukan dalam nama-nama desa kuno di daerah Malang. Namun demikian, tidak jauh dari lokasi ini terdapat Desa Lowokjati. Terkait dengan nama ini, Petugas kemudian teringat dengan keberadaan Prasasti Linggasuntan yang saat ini berada di Museum Nasional Jakarta. Prasasti ini menurut Brandes dalam OJO XXXIX: 69-70 disebutkan ditemukan di Lawajati (Lowokjati), Singosari, Kabupaten Malang.
Adapun isi prasasti tersebut menceritakan Śrī Mahārāja Rake Hino pu Siṇḍok Śrī Īśānawikramadharmmotunggadewa telah memerintahkan pada Samgat Madander pu Padma dan Samgat Anggohan pu Kundala untuk meresmikan Desa Linggasuntan yang termasuk wilayah Hujung menjadi desa perdikan karena segala biaya yang dapat dihasilkan oleh Desa Linggasuntan harus diserahkan pada Bhatara i Walandit, maka desa itu dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan dilepaskan dari kekuasaan wilayah Hujung. De Casparis pada tahun 1940 berpendapat bahwa Desa Lowokjati tempat ditemukannya prasasti tersebut semula bernama Linggasuntan. Selain itu, keletakan Desa Lowokjati ini letaknya tidak terlampau jauh di sebelah barat laut dari Dusun Blandit, yang dalam prasasti tersebut diketahui sebagai salah satu wanua i tpi siring-nya.
Bila dugaan ini benar, maka runtuhan bangunan candi bata di Desa Srigading ini kemungkinan besar berhubungan dengan bangunan candi yang disebut dalam Prasasti Linggasuntan. Prasasti Linggasuntan itu sendiri berangka tahun 851 Śaka atau 929 masehi (Abad 10 Masehi) yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok sebagai raja. Bila demikian, maka keberadaan runtuhan bangunan candi bata di Desa Srigading menjadi sangat penting sebagai bukti sejarah dari masa awal pemindahan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad 10 Masehi.(WicaksonoDN)