Masjid Jami’ Panembahan Somala atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Jami’ Sumenep merupakan salah satu bangunan dari 10 masjid tertua di Nusantara dan mempunyai arsitektur yang khas. Masjid Jami’ Sumenep saat ini telah menjadi salah satu landmark di Pulau Madura. Dibangun Pada pemerintahan Panembahan Somala, Penguasa Negeri Sungenep XXXI, dibangun setelah pembangunan Kompleks Keraton Sumenep, dengan arsitek yang sama yakni Lauw Piango.
Menurut catatan sejarah Sumenep, Pembangunan Masjid Jami’ Sumenep dimulai pada tahun 1779 Masehi dan selesai 1787 Masehi. Bangunan ini merupakan salah satu bangunan pendukung Karaton, yakni sebagai tempat ibadah bagi keluarga Karaton dan masyarakat. Masjid ini adalah masjid kedua yang dibangun oleh keluarga keraton, dimana sebelumnya kompleks masjid berada tepat di belakang keraton yang lebih dikenal dengan nama Masjid Laju yang dibangun oleh Kanjeng R. Tumenggung Ario Anggadipa, penguasa Sumenep XXI.
Arsitektur bangunan masjid secara garis besar banyak dipengaruhi unsur kebudayaan Tiongkok, Eropa, Jawa, dan Madura. Salah satunya pada pintu gerbang pintu masuk utama masjid yang corak arsitekturnya bernuansa kebudayaan Tiongkok. Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep mengingatkan pada bentuk tembok raksasa di Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang, mengesankan kekokohan dan ke-agungan. Interior ruang masjid jamik, seperti mimbar, mihrab dan maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen dari Cina. Model interior seperti ini memperlihatkan nuansa pengaruh Cina yang sangat kuat.
Bangunan utama masjid secara keseluruhan terpengaruh budaya Jawa pada bagian atapnya dan budaya Madura pada pewarnaan pintu utama dan jendela masjid, sedangkan interior masjid lebih cenderung bernuansa kebudayaan Tiongkok pada bagian mihrab.
Masjid ini juga dilengkapi minaret yang desain arsitekturnya dipengaruhi kebudayaan Portugis yang mempunyai tinggi 50 meter terdapat di sebelah barat masjid, dibangun pada pemerintahan Kanjeng Pangeran Aria Pratingkusuma. Di kanan dan kiri pagar utama yang masif juga terdapat bangunan berbentuk dome/ kubah. Pada Masa pemerintahan Kanjeng Tumenggung Aria Prabuwinata pagar utama yang cenderung masif dan tertutup, dimana semula dimaksudkan untuk menjaga ketenangan jema’ah dalam menjalankan ibadah dirubah total berganti pagar besi.
Halaman Masjid terdapat pohon sawo (Bahasa Madura: Sabu) dan juga pohon tanjung. Dimana kedua pohon tersebut konon merupakan penghias utama halaman masjid karena dipercaya mempunyai makna filosofi sebagai berikut:
- Sabu adalah penyatuan kata sa dan bu, sa mempunyai maksud shalat dan bu mempunyai maksud ja’ bu-ambu
- Tanjung adalah penyatuan kata ta dan jung, ta mempunyai maksud tandha, dan jung mempunyai maksud ajhunjhung
- Masjid bermakna pusat kegiatan dalam mensyiarkan agama Allah.
apabila dijabarkan kesemuanya mengadung maksud dan harapan sebagai berikut :
Shalat ja’ bu-ambu, tandha ajhunjhung tenggi kegiatan agama Allah artinya : Shalat lima waktu janganlah ditinggalkan, sebagai tanda menjunjung tinggi agama Allah.
Masjid jami’ dan sekelilingnya memakai pagar tembok dengan pintu gerbang berbentuk gapura yang dimaksudkan agar para jema’ah lebih berhati-hati dalam menjalankan ibadah shalat dan mendengarkan khotbah. Pintu Masjid Jamik berebentuk gapura asal kata dari bahasa arab “ghafura” yang artinya tempat pengampunan. Gapura ini syarat akan ornamen yang mempunyai banyak filosofi sebagai salah satu harapan dari sang Panembahan kepada rakyatnya ketika menjalankan ibadah.
Diatas gapura akan kita temui ornamen berbentuk dua lubang tanpa penutup, keduanya diibaratkan dua mata manusia yang sedang melihat. Lalu diatasnya juga terdapat ornamen segi lima memanjang keatas, diibaratkan sebagai manusia yang sedang duduk dengan rapi menghadap arah kiblat dan dipisahkan oleh sebuah pintu masuk keluar masjid, yang mengisyaratkan bahwa apabila masuk atau keluar masjid harus memakai tata krama dan harus melihat jangan sampai memisahkan kedua orang jema’ah yang sedang duduk bersama dan ketika imam masjid keluar menuju mimbar janganlah berjalan melangkahi leher seseorang.
Dikanan kiri gapura juga terdapat dua pintu berbentuk lengkung, keduanya mengibaratkan sebagai kedua telinga manusia. Maksudnya agar para jema’ah masjid ketika dikumandangkannya adzan, bacaan alquran, ataupun disampaikannya khotbah haraplah bersikap bijak, tidak berbicara dan mendengarkannya dengan seksama.
Disekeliling gapura juga terdapat ornamen rantai, hal ini dimaksudkan agar kaum muslim haruslah menjaga ikatan ukuwah islamiyah agar tidak bercerai berai.
Wasiat ini ditulis tahun 1806 M atau 19 tahun setelah bangunan Masjid ini selesai dibangun. Penulisan prasasti tersebut juga bertepatan dengan ditetapkannya Pangeran Abdurrachamn Tirtodiningrat putra Panembahan Somala sebagai Nadir Wakaf sebelum beliau naik tahta menjadi Adipati Sumenep XXXII.
Masjid ini adalah baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa Negeri/Karaton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya masjid ini adalah wakaf, tidak boleh diwarisi dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.(Unit Pendataan, Inventarisasi dan Penetapan)