Benda yang sekarang disimpan di Museum Anjuk Ladang ini ditemukan oleh Pak Khodir Dusun Mindi, Desa Kelutan, Kec. Ngronggot, Kabupaten Nganjuk.
Berbentuk bulat agak gepeng, bagian dasar datar dan bagian pundak cenderung datar dan membulat dengan leher sedang. Pada bagian pangkal leher terdapat hiasan pelipit-pelipit, dan kepala kendi/ payungan agak tebal dan lebar. Cerat kendi, bagian pangkal cerat lebar membulat (cembung), dengan ujung cerat kecil. Pada bagian badan dan pangkal leher kendi banyak terlihat bekas pecahan yang telah direkatkan kembali (terlihat agak renggang). Kendi ini berwarna merah tua agak kecoklatan dengan bercak-bercak hitam pada bagian badan atas, sedang bagian dasar dan badan kendi bagian bawah berwarna kehitaman.
Kendi merupakan wadah penyimpanan air minum yang terbuat dari tanah liat dan sudah dikenal sejak masa prasejarah hingga masa kini dan hampir ditemukan di seluruh Indonesia. Kendi memiliki badan membulat dengan leher relatif tinggi sebagai pegangan yang sekaligus berfungsi sebagai saluran air.
Kendi sendiri berasal dari istilah kata Bahasa Sansekerta Kundika yang berarti wadah air. Dalam ikonografi Hindu kundika merupakan atribut dewa. Kundika menurut Van der Tuuk (dalam Kawi-Balineesch Woordenbook) berarti “wadah air seorang pendeta” sedangkan menurut Pali Text Society’s Pali English Dictionary, kundika adalah wadah air seorang bhiksu. Wadah air seorang Hindu (bukan-Buddhist) disebut kamandalu. Dalam ikonografi juga disebutkan pembeda istilah kendi antara kundika dan kamandalu. Seperti terlihat pada arca Budha, Avalokiteswara dan Brkuti yang membawa kundika, sedangkan dewa-dewa Hindu seperti Brahma, Siwa dan Rsi Agastya membawa kamandalu (Soeyatmi Satari, 2006 : 93).
Secara umum kendi banyak kita jumpai digunakan untuk keperluaan sehari-hari sebagai salah satu perkakas di dapur untuk wadah air minum, namun ada juga yang menganggap kendi hanya sebagai hiasan rumah yang dijadikan sebagai lambang status sosial bagi pemiliknya. Selain digunakan untuk keperluan sehari-hari, kendi juga difungsikan untuk kepentingan sakral keagamaan sebagai tempat Tirtha Amrta (air suci kehidupan).
Berdasarkan bahan pembuatan kendi berupa tanah liat dapat diklasifikasikan menjadi kendi halus (tanah liat halus) dan kendi kasar (tanah liat kasar). Jenis kendi halus dan kasar dapat menggambarkan fungsi dan penggunaannya. Penggunaan kendi juga dapat dilihat dari adanya tradisi di Bali untuk mempersembahkan air dalam kendi halus bagi para dewa di pura-pura. Kendi yang berisi minuman untuk para dewa itu disebut cecepan, sedangkan kendi-kendi kecil yang dibuat dari bahan yang agak kasar dipakai untuk buthayajna, yaitu pemujaan untuk buthakala agar tidak mengganggu kehidupan manusia (Sri Soeyatmi Satari, 2006: 98). (Lap.Inv.ODCB Kab.Nganjuk, 2018)