Agama Islam ditengarai sudah mulai berkembang pada masa Kerajaan Majapahit. Kompleks makam Tralaya di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto merupakan bukti nyata danya komunitas muslim di Majapahit. Sebuah nisan dari makam Tralaya yang berangka tahun 1298 Saka (1376 M) merupakan salah satu bukti bahwa agama Islam telah berkembang di ibukota Majapahit (Damai, 1995: 275). Kecuali itu, keberadaan makam Putri Cempa di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto juga menjadi bukti tentang keberadaan Islam pada masa Majapahit.
Eksistensi Islam di Majapahit juga diberitakan dalam sejarah Melayu (The Malay Annals of Semarang and Cirebon). Salah satu bagian dalam catatan itu dinyatakan bahwa utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di Majapahit kebanyakan adalah orang-orang yang beragama Islam. Para utusan (para kaum muslim Cina yang bermazhab Hanafi) itu sebelum ke Majapahit, telah membentuk masyarakat Cina Muslim di Ku-kang (Palembang). Mereka juga bermukim di tempat lain dengan disertai pendirian bangunan Masjid. Beberapa Masjid telah didirikan di daerah kekuasaan Majapahit seperti di daerah Cangki (Mojokerto), Lasem, Tuban, T’e-Tsun (Gresik) dan Jiaotung (Jaratan). Pada masa itu, masyarakat muslim Hanafi berkembang pesat di Jawa, sehingga Konsul Jenderal masyarakat Cina Muslim Hanafi di Asia Tenggara bagian selatan ditempatkan di Tuban. Pda masa pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Konsul Jenderal yang bernama Haji Gang Eng Cu diberi gelar A-lu-ya (Arya) dan seorang Duta Besar Tiongkok bernama Haji Ma Hong Fu bertempat tinggal di lingkungan keraton Majapahit. Ma Hong Fu akhirnya kembali ke Cina ketika pemerintahan Ratu Suhita berakhir, Sedangkan istrinya, seorang Putri Cempa telah meninggal dunia dan dikuburkan di Majapahit (de Graaf dan Pigeaud, 1984: 13-14).
Bukti lain tentang keberadaan orang Islam di masa Majapahit dapat ditelusuri dari berita Cina. Berdasarkan Ying-yai-Sheng-lan (1416 M) dinyatakan bahwa Jawa mempunyai empat kota semuanya tanpa tembok keliling. Kapal-kapal datang dan pergi ke kota-kota itu, yaitu Tuban, Ts’e Tsun (Gresik), Surabaya dan Majapahit sebagai tempat tinggal raja. Lokasi tempat tinggal raja dikelilingi oleh tembok bata dengan tinggi lebih dari 30 kaki, dan Panjang tembok lebih dari 100 kaki serta mempunyai dua buah pintu gerbang. Di Negeri ini ada tiga macam penduduk (Groeneveldt, 1960:49) yaitu;
1. Para pengikut Nabi Muhammad SAW yaitu orang-orang Islam yang datang dari barat. Mereka menetap di sini, berpakaian bersih dan layak, begitu pula dengan makanannya.
2. Orang-orang Cina yang beraal dari Kanton, Chang-Chou, dan Ch’uan-Chou. Mereka adalah elarian dan menetap di sini. Sebagian besar orang-orng Cina tersebut beragama Islam yang sangat memperhatikan ajaran-ajarannya.
3. Penduduk asli masih sangat sederhana. Mereka belum memperhatikan kesehatan dan kebersihan dalam hal penampilan dan makanan. Mereka memelihara anjing yang tinggal dan makan dalam satu rumah.
Penduduk asli memang digambarkan masih sederhana dalam hal makan dan pakaian tetapi mereka memiliki kebudayaan yang tinggi. Berita Cina tersebut diantaranya menyatakan bahwa bahasa di negeri itu sangat halus serta mempunyai tata bahasa yang teratur. Mereka mempunyai huruf dan menuliskannya dalam daun kajang. Ukuran nilai dan ukuran isi disesuaikan dengan ukuran nili dan isi dari Cina yang resmi. Di antara penduduk Majapahit banyak yang kaya. Mereka mempunyai banyak porselen Cina yang berbunga hijau, kesturi, kain linen bermotif bunga atau tanpa motif, kain sutera, manik-manik kaca dan sebagainya (Groeneveldt, 1960 : 52-53).(un)
Sumber : Laporan Pameran Museum Expo 2015, BPCB Mojokerto