Secara khusus sejarahnya tidak banyak dijumpai dalam buku-buku literatur, namun Gua Selomangleng diperkirakan berasal dari akhir abad X (Kempers, 1959). Adapun berdasarkan cara pemahatan dan penataan rambut tokoh-tokohnya, Satyawati Suleiman berpendapat bahwa Gua tersebut berasal dari masa awal Majapahit (Suleiman, 1961).
Relief yang dipahatkan mengambil cerita bagian dari Arjunawiwaha, khususnya pada episode penggodaan bidadari terhadap Arjuna yang sedang menjalankan tapa. Ini mencerminkan kedekatan mereka akan wiracarita gubahan para pujangga sejak jaman Kerajaan Kadiri. Sekaligus untuk mengingatkan mereka akan laku yang sedang ditekuninya, serta harapan bahwa kekuatan yang terkandung dalam kisah cerita tersebut dapat terwujud (Sulistyanto dan Kusumo Hartono, 1986).
Sebagian besar pemanfaatan gua ditujukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan, yaitu sebagai tempat pertapa, menyepi, menjauhkan diri dari keramaian untuk menemukan inspirasi baru dari lingkungan alam yang disebut sebagai “…..panggilan dari Tuhan kepada jiwa …..”, dalam hal ini gua sangat diperlukan (Kempers, 1959). Pada saat gua alam sulit ditemukan, muncul kecenderungan untuk memanfaatkan gua buatan sebagai tempat pertapaan. Berkenaan dengan pemanfaatannya, gua buatan dilengkapi tidak saja dengan unsur-unsur untuk kepentingan praktis, misalnya pembuatan mulut gua yang cukup memadai untuk dilalui, melainkan dilengkapi pula dengan hiasan-hiasan yang bermakna penting dalam kehidupan magis-religius.
Melihat relief yang terdapat di kompleks pertapaan ini, yaitu ilustrasi bagian dari Arjunawiwaha, dapat di duga bahwa sikap keagamaan yang melatar belakangi kekunaan ini adalah Hindu. Walaupun demikian, mengingat beragamnya sekte dalam Agama Hindhu maupun masyarakat penggunanya di kala itu, besar kemungkinan bahwa yang lebih tepat agama yang melatar belakanginya adalah yang disebut dengan Agama Karesian. Pendukung dari kepercayaan ini, umum pada periode Majapahit, kebanyakan adalah masyarakat pedesaan yang hidup berdampingan dengan pusat-pusat pendidikan keagamaan yang dipimpin para Rsi/pertapa yang berlokasi cukup jauh dari pusat Pemerintahan. Pembuatan gua-gua tersebut tampak dari gaya pemahatannya yang cenderung menghasilkan pahatan berbentuk sederhana. Gaya tersebut menghasilkan penggambaran tokoh dalam pakaian sehari-hari. Contoh semacam itu dijumpai di Gua Selomangleng dan Gua Pasir (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Tulungagung: 21 – 22).
Lap.Usulan Penetapan CB Kab.Tulungagung