Bangunan Gereja GPIB Immanuel Bangil di Jalan Jaksa Agung Suprapto Nomor 6, Bangil, Pasuruan, dapat menjadi bukti dari perjalanan sejarah Kabupaten Pasuruan. Terkait dengan perkembangan agama Kristen dan masyarakat Eropa di wilayah ini
Bila diteliti lebih lanjut akan memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan dalam rangka menjawab permasalahan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip rancang bangun, termasuk kajian penggunaan bahan dan ketrampilan merancang atau merupakan hasil penerapan teknologi dan materi baru pada masa pembangunan gedung tersebut, selain itu dari aspek kesejarahan bangunan ini memiliki keterkaitan erat dengan masa kolonial Belanda di Bangil masa lampau.
Selain itu sebagai sarana praktek lapangan siswa maupun mahasiswa dalam rangka memahami materi ataupun teori yang diperoleh siswa maupun mahasiswa di ruangan kelas terutama yang berhubungan dengan kesejarahan dan arsitektur, bangunan Gereja GPIB Immanuel Bangil juga memiliki arti khusus bagi agama sebagai sarana ibadah umat protestan di Bangil pada masa Kolonial Belanda.
Menurut SM. Manurung, mantan pengurus GPIB Immanuel, gereja ini dirikan pada tahun 1928 oleh komunitas Nasrani di Bangil. Komunitas tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa yang tinggal di kota tersebut. Mereka adalah para pegawai pemerintah kolonial, anggota militer, dan pekerja-pekerja di perkebunan.
Pada masa revolusi tahun 1945-1949, dan beberapa tahun setelahnya, gereja ini sempat kosong. Sentimen anti Belanda yang menguat membuat banyak orang Eropa meninggalkan Indonesia. Termasuk jemaat gereja ini. Kemudian baru pada 1967 jemaat berhasil didirikan untuk menghidupkan kembali gereja. Tokoh pendirinya adalah FH. Latu dan T. Sitorus.
Setelah itu, bangunan gereja mengalami beberapa renovasi. Ada unsur-unsur asli bangunan yang telah diganti. Seperti penutup atap dan penambahan ruang di sebelah belakang yang dikerjakan tahun 2007 lalu.
Tentang tahun pendirian gereja ini, ada sumber lain yang menyatakan bahwa gereja ini sebenarnya telah berdiri pada tahun 1924. Menurut Chr. G.F. de Jong dalam publikasinya, gereja itu disebut sebagai Indische Kerk, sebuah gereja kecil dengan orgel di dalamnya.
Kini, gereja tersebut menjadi bagian dari Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB). Lembaga ini merupakan salah satu lembaga keagamaan Kristen yang cukup tua di Indonesia. Sejarah GPIB tidak dapat dipisahkan dari pembentukan De Protestantse Kerk In Nederlands Indie pada tahun 1605 di Ambon, Maluku. Pada tahun 1619 kantor pusat De Protestantse Kerk In Nederlands Indie dipindahkan ke Batavia sehubungan dengan berpindahnya kedudukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari Ambon ke Batavia.
De Protestantse Kerk In Nederlands Indie, mewarisi jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh Portugis dengan wilayah pelayanannya meliputi sejumlah daerah seperti Maluku, Minahasa, Kepulauan Sunda Kecil (kini Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Nusa Tenggara Barat khususnya Pulau Sumbawa dan sebagian Lombok), serta Pulau Jawa, Sumatera dan lainnya.
Karena wilayah pelayanan semakin banyak dan meluas, maka cabang-cabang De Protestantse Kerk In Nederlands Indie mengalami berbagai persoalan. Pada tahun 1927 disepakati bahwa keesaan gereja harus tetap dipertahankan, namun wilayah yang memiliki kekhususan diberi status mandiri yang lebih luas untuk mengatur pelayanannya secara sendiri-sendiri.
Dalam Sidang Sinode De Protestantse Kerk In Nederlands Indie tahun 1933, jemaat di Minahasa, Maluku, bekas wilayah Keresidenan Timor dan pulau-pulau di sekitarnya diberikan wewenang untuk menjadi gereja mandiri dalam persekutuan De Protestantse Kerk In Nederlands Indie. Pada tahun 1934, jemaat di Minahasa dilembagakan menjadi gereja mandiri pertama dengan nama Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Setahun kemudian pada tahun 1935, jemaat di Maluku dilembagakan menjadi gereja mandiri kedua dengan nama Gereja Protestan Maluku (GPM). Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1947, jemaat di wilayah Sunda Kecil dilembagakan menjadi gereja mandiri ketiga dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).
Sidang Sinode De Protestantse Kerk In Nederlands Indie yang diadakan di Buitenzorg (Bogor), menyepakati bahwa gereja mandiri keempat akan dibentuk dengan wilayah pelayanan di bagian barat Indonesia. Pada tanggal 31 Oktober 1948, dalam Ibadah Minggu Jemaat di “Willems Kerk” (sekarang Gereja Immanuel Jakarta), dilembagakanlah gereja mandiri keempat yang pada waktu itu bernama De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesie (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat), berdasarkan Tata Gereja dan Peraturan Gereja yang dipersembahkan oleh proto-Sinode kepada Algemene Moderamen De Protestantse Kerk In Nederlands Indie (Badan Pekerja Umum Gereja Protestan di Indonesia). (Lap.Pendataan Bangunan Kolonial Kab.Pasuruan-2019)