Bangunan ini merupakan penanda perkembangan yang penting bagi Kabupaten Pasuruan, khususnya bagi Bangil. Pada masa lalu, sebelum tahun 1983, bangunan ini menjadi kantor bagi Pengadilan Negeri Bangil.
Gedung ini sendiri telah ada sejak masa Hindia Belanda. Dalam sebuah peta lama yang diterbitkan pada 1922, bangunan ini disebut sebagai Europesche School (sekolah Eropa), yang diapit oleh gereja (kerk) di sebelah timur dan kantor telegraf di sebelah barat. Gereja yang dimaksud dalam peta itu sekarang menjadi GPIB Immanuel, sedangkan kantor telegraf menjadi Plaza Telkom. Seiring pasang surut perjalanan sejarah Bangil, gedung ini pernah digunakan juga sebagai Kantor Kecamatan Gempeng.
Peta lama Bangil itu hanya menyebut gedung ini sebagai Europeesche School, tidak menyebut secara khusus nama lembaga pendidikannya. Berdasarkan sejarahnya, di Bangil memang pernah berdiri sekolah Eropa yang bernama Europesche Lagere School (ELS). Lembaga itu adalah Sekolah Dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia. ELS menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajarnya. ELS atau Sekolah Rendah Eropa tersebut diperuntukkan bagi keturunan peranakan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka. ELS yang pertama didirikan pada tahun 1817 dengan masa sekolah 7 tahun. Awalnya hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu (dari golongan tertentu) dan warga Tionghoa.
Salah satu tokoh nasional yang pernah mengenyam pendidikan di ELS Bangil adalah Dr. Soetomo. Sebelum melanjutkan ke STOVIA di Jakarta, dia bersekolah di ELS Bangil sampai tahun 1903. Pendiri Budi Utomo itu awalnya sempat kesulitan untuk memasuki sekolah tersebut. Namun atas bantuan pamannya, R. Ardjodipuro seorang mantri guru, ia dapat memasuki sekolah itu dengan pengakuan sebagai anak dan mengubah namanya menjadi Soetomo.
Tentang perubahan fungsinya menjadi gedung pengadilan, masih belum ada sumber yang pasti. Karena dalam peta tahun 1922 itu, ada bangunan lain yang disebut sebagai landraad. Gedung tersebut masih berada dalam ruas jalan yang sama, namun terletak di sebelah timur, di utara jalan.
Landraad sendiri adalah lembaga peradilan masa Hindia Belanda yang biasanya dibentuk di tingkat kabupaten. Pada masa lalu, Bangil pernah menjadi kabupaten sendiri, sebelum statusnya menjadi kecamatan di bawah Pasuruan. Berdasarkan Algemeen Jaarlijsch Verslag 1823, dapat diketahui bahwa Kabupaten Bangil saat itu merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan yang meliputi Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Bangil, dan Kabupaten Malang sesuai Staadsblad 1819 Nomor 16. Salah satu pimpinan Landraad Bangil adalah A. Neytzell de Wilde yang menjabat di Bangil pada 1906-1908. Sebelumnya, dia sempat menjadi wakil ketua landraad di Kediri dan Nganjuk pada 1905. Kemudian setelah menjabat sebagai ketua di Bangil, di pindah sebagai pengajar ilmu hukum di Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), sekolah untuk pegawai pribumi kolonial, di Probolinggo.
Landraad merupakan badan pengadilan yang dibentuk di kota-kota kabupaten atau kota lain sesuai dengan kebutuhan. Susunan kelembagaannya terdiri atas seorang sarjana hukum sebagai hakim ketua yang membawahi pegawai pemerintahan sebagai hakim anggota, seorang panitera, seorang jaksa jika kasusnya pidana, dan seorang penasihat sidang jika yang diperkarakan orang beragama Islam atau golongan lain yang berlaku hukum adat.
Landraad memiliki kewenangan dalam mengadili perkaraperdata dan pidana untuk penduduk pribumi pada perkara yang diperkenankan oleh UU untuk diadili pada tingkat pertama. Selain itu juga perkara perdata tingkat pertama untuk penduduk Timur Asing non Tionghoa, pengadilan tingkat banding dari Regentschapsgerecht, dan permohonan banding dari Landraad ke Raad van Justite.
Dalam bidang hukum, pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut Dualisme Hukum. Hukum dan peradilan di Hindia Belanda terbagi dalam dua bagian yang masing-masing mencakup lingkungan yang berbeda. Pada satu pihak ada pengadilan gubernemen dan di pihak lain terdapat pengadilan pribumi. Baik dalam peraturan pemerintah (RR) tahun 1854 maupun dalam tahun 1925 pembagian atas dua bagian itu masih tetap berlaku. Pengadilan gubernemen dimasukkan oleh pemerintah kolonial dan dijalankan oleh pegawai pemerintah menurut peraturan-peraturan hukum. Sedangkan pengadilan pribumi dijalankan menurut hukum-hukum adat yang umumnya berlaku tidak tertulis. (Lap. Pendataan Bangunan Kolonial Kab.Pasuruan-2019)