Cerita di Candi Jago (Angling Darma)

0
8167

Relief ini dipahatkan pada kaki I dimulai dari sudut barat daya (menghadap selatan) dan berakhir pada sudut timur laut kaki I.

Seorang raja agung dari Malawapati bernama Angling Darma (Aji Darma) pergi berburu ke hutan. Di hutan sang raja melihat putri naga (Nagini) melakukan perbuatan yang tidak pantas dengan seekor ular bukan bangsawan (ular tampar). Angling Darma kemudian membunuh ular tampar itu dan memukul Nagini. Sakit hati Nagini, lalu ia pulang dan melapor kepada ayahnya Naga Raja (Antaboga) dan mencemarkan nama baik Angling Darma.

Raja Antaboga merubah dirinya menjadi pertapa dan pergi ke istana Angling Darma sahabat lamanya, menjelma menjadi seekor ular kecil dan menyelinap masuk ruang tidurnya untuk mendengarkan secara diam-diam percakapan antara Angling Darma dengan isterinya. Akhirnya Antaboga tahu bahwa putrinya yang telah berbohong kepadanya. Ia pergi keluar dan menjelma menjadi seorang pertapa lagi, serta memanggil Angling Darma untuk menemuinya. Sebagai rasa terimakasih atas kebaikan Angling Darma, Raja Naga mengajarakan kepadanya “Pesona Pancabumi” yang membuat Angling Darma mengerti bahasa binatang, dengan syarat ia harus teguh menjaga rahasia ini.

Permaisuri (Setyawati) menjadi sakit hati dan mengancam akan membakar diri apabila Angling Darma tidak mau menceritakan kepadanya rahasia yang diberikan Antaboga. Teringat akan pesan Antaboga dan pembicaraan dua ekor kambing jantan dan betina (Banggali dan Wiwita) yang mencemooh sikap Angling Darma, maka ia bersikukuh tidak menceritakan rahasia Pesona Pancabumi dan membiarkan isterinya membakar diri. Setelah kematian isterinya, Angling Darma tetap sendiri meski banyak wanita yang melamarnya. Seorang Dewi yang ditolak keinginannya mmengutuk Angling Darma dan mengatakan bahwa ia (Angling Darma) akan mengembara keluar dari negaranya selama tujuh tahun.

Setelah menjelajah selama dua bulan menembus hutan rimba, sampailah Angling Darma di Malaya, suatu negara terpencil yang ditinggalkan oleh penduduknya karena rajanya mempunyai kebiasaan minum darah dan makan manusia, demikian juga ketiga putrinya. Setelah raja meninggal, ketiga puteri msih tinggal di istana dan menerima upeti dari para pengelana yang datang ke Negara itu secara bergantian. Suatu malam mereka tidak dapat menahan keinginan untuk makan manusia dan mereka pun pergi ke kuburan untuk mencari mayat. Angling Darma mengikuti mereka dalam bentuk seekor anjing dan memohon agar mereka memberinya sepotong daging. Sesampainya di rumah, ia memuntahkan kembali apa yang telah masuk dalam perutnya. Ketiga putri sangat marah dan mengutuk Angling Darma menjadi seekor angsa putih, dan menyisipkan sebuah gambar di antara bulu-bulu di kepalanya.

Angsa putih (Angling Darma) terbang dan hinggap di rawa, dimana terdapat kawanan burung-burung. Ia bertanya dimana Bojanegara, tempat tinggal Raja Kirtiwangsa. Ketika keluar dari rawa, ia ditangkap oleh seorang anak laki-laki dan membawanya kepada tuannya seorang Demang, yang sangat suka akan pemberian tersebut, sehingga ia menjadi bertambah kaya.

Tersebutlah seorang pertapa yang setiap hari meninggalkan pondoknya untuk meminta-minta. Semangat hidup miskin yang harus ditanggung oleh pertapa tersebut, membuat isterinya tidak sadar akan adanya sebuah penipuan, yaitu adanya pertapa palsu yang menyamar sebagai suaminya, yang selalu datang ke rumah dan tidur bersamanya setelah suaminya pergi. Pada suatu hari, setelah pertapa palsu pergi untuk berpura-pura meneruskan meminta-minta, suami/pertapa yang asli pulang dan menginginkan tidur bersama. Tetapi ia curiga pada isterinya yang terkejut karena ia pulang cepat, padahal ia sudah pergi terlalu lama. Pertapa tersebut mencari akal. Ia pergi lagi tetapi ia menyembunyikan diri di suatu tempat dimana ia bisa mengawasi rumahnya. Saat ia melihat pertapa gadungan memasuki rumahnya, ia tergesa-gesa kembali, tapi bukannya dapat mengejar perginya sang penyusup malah dirinya sendiri yang dituduh sebagai penyelundup ke rumah orang lain dan berselingkuh dengan isterinya. Pertapa wanita tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan ia tidak bisa menyelesaikan masalah ini karena tidak bisa mengenali dengan mantap perbedaan antara kedua pria tersebut.

Kemudian mereka memutuskan untuk meminta pertimbangan raja di Bojanegara, akan tetapi tidak satupun penasehat raja dapat menemukan jalan keluar dari dilema ini. Angsa putih yang mendengar pembicaraan ini kepada Demang serta memberi solusi untuk masalah tersebut.

Demang segera ke istana menghadap raja dan memohon untuk bertindak sebagai hakim dalam perkara tersebut. Ia meminta api, sebuah botol dan sebatang lilin, serta menantang kedua pria untuk membuktikan kepada pertapa wanita, siapa mereka sebenarnya, dengan memasuki botol yang disediakan. Pertapa yang asli tidak sanggup untuk mengerjakan hal tersebut, tetapi pertapa gadungan dengan sombongnya menerima tantangan tersebut. Ia memasuki botol, yang cepat-cepat ditutup dengan lilin dan dilemparkan kea pi sehingga tamatlah riwayat pertapa gadungan tersebut. Demang yang berrhasil menyelesaikan masalah tersebut kemudian diangkat ke posisi tertinggi dalam kerajaan. Akan tetapi ketika raja tahu bahwa yang memberi solusi dari masalah tersebut adalah angsa putih milik Demang, maka Raja meminta angsa tersebut dan menghadiahkan kepada putrinya.

Putri raja Bojanegara selalu menghabiskan waktunya dengan bermain-main bersama angsa putih, yang tidak bisa dipisahkan darinya. Suatu hari ketika sedang memandikan angsa putihnya, putri menemukan sesuatu (gambar) di antara bulu-bulu di kepala angsa tersebut dan melepaskannya. Tiba-tiba angsa putih tersebut menjadi pria muda yang gagah dan tampan. Mereka memutuskan untuk menyimpan rahasia ini. Gambar di kepala angsa dikembalikan ke tempat semula. Mulai sekarang Angling Darma menjadi seekor burung pada siang hari dan menjadi seorang pria kekasih putri pada malam hari. Hingga akhirnya putri menjadi hamil. Kondisi ini diketahui oleh orangtuanya yang memarahi dan ingin tahu pria mana yang telah masuk kerajaan secara diam-diam tanpa ketahuan.

Pada suatu hari Patih Madrin (Patihnya Angling Darma), meninggalkan Malawapati untuk mencari tuannya. Ia tiba di Bojanegara dan mendengar kondisi putri raja. Memahami sepenuhnya kekuatan supranatural tuannya. Patih Madrin mencurigai Angling Darma masuk ke dalam keputren, dengan menyamar dalam bentuk lain. Ia memerintahkan supaya semua pria, wanita serta binatang piaraan yang tinggal di dalam istana termasuk angsa putih yang telah mati dikumpulkan. Akan tetapi ia tidak dapat menemukan Angling Darma yang rupanya telah menjelma menjadi bunga lotus merah yang dipegang putri.

Patih Madrin mendapat ijin masuk keputren, untuk mencari Angling Darma. Melihat kecantikan sang putri ia menjadi tergoda untuk tidak setia kepada Angling Darma. Ia memutuskan untuk mengadu kekuatan supranatural dengan harapan untuk memenangkan sang putri bagi dirinya. Akan tetapi ia dikalahkan dan terpaksa mengakui keunggulan Angling Darma.

Identitas Angling Darma sekarang terbuka. Raja Bojanegara tidak jadi marah kepada Angling Darma, sebaliknya ia bangga terhadap calon menantunya. Setelah pernikahan ia menyerahkan tahta kepada menantunya, tetapi Angling Darma menolak dengan mengatakan bahwa sebelum tujuh tahun berlalu ia masih dalam kutukan/sumpah. Kemudian melanjutkan pengembaraannya diiringi Patih Madrin yang telah dimaafkan akan segala kesalahannya.

Angling Darma dan Patih Madrin tiba di sebuah taman yang dijaga oleh seorang wanita tua yang mengijinkan mereka masuk dan melihat-lihat keindahan taman dari dalam sebuah pondok. Kemudian wanita tersebut menunjukkan pada mereka, arah menuju Kerajaan Kertanegara dan mmemberitahukan bahwa Susilawati, putri raja tersebut (yang digambarkan sangat cantik), sudah lama tidak mau bicara. Raja Kertanegara mengumumkan sayembara, bahwa ia akan menikahkan putrinya kepada siapa saja yang dapat membujuknya untuk bicara.

Angling Darma dan Patih Madrin tiba di Kertanegara dan Angling Darma mencoba membujuk tuan putri Susilawati untuk bicara. Raja Kertanegara menepati janjinya, dan menyerahkan Susilawati untuk dinikahi Angling Darma. Selama tujuh hari Angling Darma tinggal di Kertanegara dan ketika meneruskan perjalanannya lagi ia disertai isterinya (Susilawati) dan Patih Madrin.

Patih Madrin merasa sangat iri terhadap tuannya (Angling Dara) yang telah mendapatkan semuanya. Ia tergila-gila dengan Susilawati, dan berniat menyingkirkan Angling Darma. Pada saat sedang beristirahat, putri meminta Angling Darma tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena jiwanya masuk ke dalam binatang yan gmati, yang berbaring di dekatnya. Patih Madrin yang mempunyai taktik yang sama dengan tuannya, untuk memiliki tubuh tuannya, tiba-tiba merubah dirinya menjadi seekor harimau dan mengejar hewan penjelmaan Angling Darma. Angling Darma merubah dirinya menjadi seekor burung bayan (betet) dan cepat-cepat terbang menuju Bojanegara untuk memberitahukan isterinya (Cakrawati) atas pengkhianatan Patih Madrin serta menyuruh isterinya berhati-hati kepada Patih Madrin yang telah menjelma menjadi Angling Darma.

Sementara itu, putri Susilawati berbalik dan cepat-cepat kembali kepada ayahnya. Menyadari bahwa Susilawati telah meninggalkannya, Patih Madrin yang telah menjelma sebagai Angling darma pergi ke Bojanegara dengan maksud menyatakan dirinya sebagai suami putri Cakrawati yang sah. Cakrawati yang sudah diberitahu oleh Angling Darma, menanti kedatangan Patih Madrin dan mengatur siasat dengan mengadakan adu kambing, dimana Patih Madrin diharuskan ikut ambil bagian dalam bentuk seekor kambing kecil yang akan diadu dengan kambing lain.

Tak lama setelah pertarungan dimulai, seekor burung bayan (betet) turun dan memasuki badan Angling Darma yang telah dikosongkan Patih Madrin yang menjelma menjadi seekor kambing. Dengan demikian Angling Darma telah menjadi dirinya sendiri. Patih Madrin berusaha mencari kembali badannya yang ditinggalkan di dekat pohon mangga, tapi sia-sia, ia tidak dapat menemukannya. Ini merupakan malapetaka baginya, karena ia akan selamanya dalam bentuk binatang. Untuk itu ia kembali ke Bojanegara dan memohon pengampunan dari Angling Darma.

Setelah sepuluh tahun berlalu, Pangeran Yudasangkara (anak Angling Darma dengan Cakrawati) memohon pada ayahnya untuk menjemput putri Susilawati dan membawanya ke Bojanegara. Pada saat yang sama Angling Darma telah menggantikan mertuanya menjadi raja di Bojanegara, dan pemerintahannya menjadi makmur sekali. Pangeran Yudasangkara akhirnya menikah dengan putri dari Tumapel dan menjadi raja di Malawapati. (Sumber:  Lap.Pendokumentasian Relief Candi Jago, 2007)

                Angling Darma dan isterinya berdiri di sebuah taman.
Dua ular saling melilit, kedua kepala saling berhadapan. Salah satu ular memakai mahkota (Nagini). Di belakang ular tampar, berdiri Angling Darma mengayunkan anak panah.
Angling Darma dan isterinya berdiri berhadapan, isterinya membawa seperti bentuk api. Di belakang, digambarkan dua punakawan saling berhadapan.
Seorang pria duduk di dalam sebuah pendopo beratap limasan. Terdapat seperti panggung dan seorang wanita di atasnya.
Seorang wanita berlutut menyembah seorang dewa yang digambarkan berdiri berpakaian lengkap dan bermahkota, bertangan empat salah satunya membawa camara. Di belakang terdapat wajah raksasa dalam posisi duduk bersila dan ikut menyembah dewa.
Situasi rumah/istana dengan pagar pembatas halaman dan pintu gapura berbentuk paduraksa. Dua rumah/pendopo model panggung beratap limasan. Halaman rumah ditumbuhi pohon pisang. Terdapat dua orang sedang bermesraan. Di dekatnya terdapat tiga punakawan.
Adegan pertama, pria dan wanita sedang bermesraan, dua punakawan duduk menyembah. Adegan kedua, seorang berwajah raksasa diiringi dua punakawan sedang berjalan ke arah orang yang bermesraan.
Seorang pria bersurban berdiri menghadap/mengintip dua orang yang sedang tidur. Di belakang pria tersebut terdapat dua punakawan sedang tidur dalam posisi bertumpuk.
Seorang pria bersurban berdiri berhadapan dengan seorang berwajah raksasa dan dua punakawan mengiringi di belakangnya.
Dua orang pria salah satu memakai surban berdiri beriringan. Yang depan dalam posisi memanah, panahnya mengenai dada seorang berwajah raksasa.

 

Terdapat dua adegan. Dua orang pria dalam posisi jongkok, yang di depan bersurban menengok belakang, kemudian mereka berjalan beriringan menuju pagar dengan gapura bentar.
Pria dan wanita berjalan beriringan, bersama terdapat dua punakawan. Mereka hendak menuju sebuah komplek rumah yan gdibatasi pagar dan gapura paduraksa.