N. W. Hoepermans pada awal abad ke-20 Masehi melakukan lawatan ke Kediri dan menemukan reruntuhan bangunan dari bahan batu andesit. Berita tersebut menyebar luas di kalangan cendekiawan dan pemerhati purbakala Pemerintah Hindia Belanda. D. M. Verbek dan J. Knebel melakukan survei ke wilayah itu dan mendapati sebagian besar konstruksi candi telah runtuh. Mereka kemudian melakukan penyelamatan pada candi yang berdiri di Desa Surawana, Kecamatan Plemahan Kabupaten Kediri pada tahun 1908. Pekerjaan kedua peneliti tersebut kemudian dilanjutkan oleh J. Perquin pada tahun 1915 dan berhasil menampakkan bentuk candi seperti saat ini.
Candi tersebut bernama Surawana sesuai dengan nama desa yang menaunginya. Surawana merupakan toponimi kuno yang masih bertahan hingga saat ini. Mpu Prapanca seorang pujangga kenamaan Majapahit mencatat nama wilayah ini sebagai Śūrabhāwana, alam para dewa. Diceritakan dalam Kakawin Nagarakrtagama Baginda Raja Hayam Wuruk melakukan lawatan ke Blitar untuk memuja Baṭara Aśalapati. Sepulang dari pemujaan tersebut ia mengunjungi beberapa tempat dan sempat menginap di Śūrabhāwana sebelum akhirnya menuju Ibukota Majapahit di Trowulan.
Tentang fungsi dari candi tersebut rupanya menjadi tempat pendharmaan Bhre Wengker yang bernama bernama asli Kudamerta. Tokoh yang memiliki gelar Wijayarajasa atau Bhatara Parameswara ring Pamotan tersebut merupakan paman dari Hayam Wuruk, suami dari bibinya yang bernama Dyah Wiyat. Selain itu, Paduka Sori yang merupakan permisuri Hayam Wuruk adalah anak dari Kudamerta dengan selirnya. Maka pantas saja Hayam Wuruk ketika melakukan lawatan ke pesisir selatan menyempatkan mampir ke Surawana untuk memuja sang paman yang telah wafat sekitar abad 14 Masehi.
Bangunan Candi Surawana tidak lagi utuh seperti sedia kala. Kini candi hanya menyisakan struktur berbentuk persegi berukuran 8 x 8 meter. Struktur tersebut menghadap ke barat berdasarkan sebuah anak tangga yang mengubungkan permukaan tanah dengan bagian candi. Sisa bangunan candi yang masih berdiri berupa lapik yang di atasnya terdapat kaki candi. Kaki candi dihias dengan relief yang padat dan kaya ukiran, sedangkan pada bagian lapik dipahatkan relief dalam bingkai-bingkai persegi yang ditata berjajar apik mengelilingi fasad bangunan. Relief-relief pada Candi Surawana dipahatkan dengan gaya kaku, khas ukiran masa Majapahit. Kisah yang digambarkan pada relief tersebut didominasi oleh Arjunawiwaha, lalu dipahatkan pula kisah Sri Tanjung dan Bubuksah-Gagangaking yang hanya beberapa adegan saja. Kisah Arjunawiwaha pada bangunan suci tersebut dipahatkan apik dalam satu panil panjang seperti lukisan wayang beber atau wayang kamasan. Penggambaran tokoh sangat detail, dihias dengan latar vegetasi hutan. Kisah tersebut menceritakan Arjuna yang sedang bertapa diuji oleh bidadari utusan Dewa Indra. Tidak mempan terhadap ujian tersebut Dewa Siwa turun langsung dengan mengambil wujud pemburu babi hutan. Arjuna setelah lolos menghadapi ujian pertentangan dengan sang pemburu kemudian diberikan anugerah oleh Dewa Siwa. Ia diutus Indra ke kahyangan supaya membunuh raksasa Niwatakawaca yang berbuat kerusakan di alam dewa, suralaya. Pertempuran berlangsung seru, akhrinya dimenangkan oleh Arjuna. Sebagai imbalan Arjuna berhak menikahi bidadari yang menggodanuya, Dewi Suprabha. Melalui relief tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa ujian senantiasa hadir dalam kehidupan kita, membuat kita selevel lebih baik ketika berhasil menghadapi ujian tersebut. (Yusuf).