Cerita rakyat versi Sinan Wijoyo Suyono yang sampai saat ini masih dipercaya penduduk setempat mengatakan bahwa Candi Sanggrahan adalah tempat istirahat rombongan pembawa jenazah seorang ratu Majapahit bernama Gayatri. Jenazah itu dibawa dari Keraton Majapahit untuk dibakar di sebuat tempat di sekitar Boyolangu (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Tulungagung: 24).
Sejarah Candi Sanggrahan sebenarnya belum diketahui secara jelas, namun secara samar-samar dengan adanya istilah “sanggrahan” ini mengingatkan kita adanya suatu kelompok para pendeta, kata lain seperti wihara. Hal ini didukung adanya temuan pondasi yang cukup luas (bangunan profane) yang berada di sekitar Desa Sanggrahan.
Penelitian/pencatatan Candi Sanggrahan dilakukan oleh beberapa ahli purbakala, yaitu N.W. Hoepermans pada tahun 1913, N.J. Krom pada tahun 1915 dan 1923.
Candi ini disebut Candi Cungkup (Soekmono, 1974), sedangkan berdasarkan catatan lama bangunan ini disebut Candi Proetoeng (Krom, 1915: 292, Magetsari, 1979:238).
Berdasarkan temuan berupa arca-arca Budha dalam berbagai mudranya dapat dikatakan bahwa sifat keagamaan Candi Sanggrahan ini adalah agama Budha. Namun hal itu bukanlah sesuatu yang mutlak, karena pada jaman kerajaan Singosari dan Majapahit diketahui adanya pembauran antara kepercayaan asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur dengan kepercayaan Siwa dan Buddha (Slamet Mulyana, 1979: 26).
Lokasi Candi ini sangat mudah untuk dicapai. Jalan menuju candi tidak menanjak (datar) dan semuanya melalui jalan beraspal. Candi ini dapat dilihat berdiri di sebelah utara jalan desa.
Candi Sanggrahan boleh dikatakan merupakan kompleks percandian karena di belakang candi tersebut pada halaman sisi timur terdapat bangunan lain dari bata, namun telah runtuh dengan beberapa saluran air yang menunjukkan dahulu sebagai pemandian (Magetsari, 1979; 238)
–Lap. Usulan Penetapan CB 2010-