Tak jauh dari kantor Desa Pulosari berdiri megah reruntuhan bangunan suci dari masa Hindu-Buddha. Bangunannya tak lagi utuh, akan tetapi masih menyisakan beberapa komponen yang jelas menunjukkan ciri bangunan suci kerajaan. Bentuk bangunan yang oleh masyarakat lazim disebut sebagai candi tersebut berdiri menjulang di antara gugusan perbukitan kecil di Barat Laut Kaki Gunung Anjasmoro. Strukturnya pun tidak banyak berubah semenjak ditemukan Alfred Wallace pada abad ke-19, kecuali perkuatan kaki candi yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur pada 1994 – 1996.
Bangunan candi kini hanya tersisa bagian kaki yang bertingkat tiga, tersusun atas batu andesit. Bagian atasnya bertahan dinding sisi utara yang masih tersusun padu dengan guratan relung semu. Terdapat pula sebuah kepala kala teronggok di depan candi, bersama dengan sepasang dinding pengapit tangga naik. Sebuah anak tangga masih tersusun lurus sebagai penghubung antara permukaan tanah dengan bagian ruang candi yang dulu menjadi tempat diletakkannya arca Parwati. Jelaslah bahwa percandian ini merupakan bagian dari karya era Majapahit berdasarkan gaya arsitekturnya. Agus Aris Munandar dalam bukunya Keistimewaan Candi Masa Majapahit mengelompokkan tipikal candi ini ke dalam bangunan berlanggam Jago yang populer pada abad ke-13 – 15 Masehi.
Candi ini tampaknya belum selesai dibangun dengan benar. Dari sekian banyak dinding baru pada kaki tingkat pertama saja yang telah selesai diukir relief naratif. Dua dinding di atasnya masih berupa panil kosong yang sama sekali tidak didapati ukiran. Apakah memang panil tersebut sengaja dikosongkan atau memang belum selesai diukir tampaknya belum bisa dipastikan lebih lanjut. Terlebih minimnya catatan masa lampau yang memberitakan tentang candi ini. Pun prasasti maupun inskripsi sama sekali tidak ditemukan di area tersebut. Padahal biasanya percandian masa Majapahit memiliki tren untuk memahatkan angka tahun pada ambang pintunya sebagai penanda waktu pembuatan bangunan.
Bencana alam sepertinya menjadi alasan utama keruntuhan Candi Rimbi. Kitab Negarakrtagama dan Pararaton menyebutkan tanah Jawa beberapa kali diguncang gempa bumi, banjir hingga gunung meletus. Menilik kondisi geografinya sepertinya memang benar jika Candi Rimbi runtuh sebab bencana alam gempa atau mungkin karena letusan gunung api. Lokasi bangunan tersebut berada di atas perbukitan dekat dengan gunung api Kelud maupun Gunung Anjasmoro yang pernah aktif di masa kuno. Setidaknya jika salah satu gunung tersebut meletus daerah Candi Rimbi juga akan terkena dampaknya minimal gempa bumi maupun terguyur abu vulkanis.
Memang membangun bangunan pada masa kuno di atas bukit memiliki resiko tersendiri terhadap ancaman gempa bumi. Selain karena pondasinya yang tidak terlalu dalam, ketahanan bangunan didasarkan terhadap kejelian tukang batu dalam membuat kuncian-kuncian batu candi guna memperkokoh susunan bangunannya. Akan tetapi dibalik ancaman tersebut, masyarakat Jawa Kuno meyakini bahwa pembangunan candi harus lah berada di ketinggian dan sebisa mungkin berdekatan dengan sumber air. Faktor daya magis dan kesucian tempat secara filosofis, yang telah tertanam sejak masa Neolitik, menjadi dasar mereka menentukan lokasi pendirian bangunan suci.
Masyarakat lokal menamai bangunan tersebut dengan meminjam nama Dewi Arimbi, istri Bima yang berwujud raksasi. Tak salah masyarakat menyebut demikian, sebab pada area candi pernah ditemukan dua arca wanita, satu berukuran besar bernama Dewi Parwati dan satunya wanita bertaring sedang menghajar iblis kerbau bernama Durga Mahisasuramardhini. Penggambaran kedua arca tersebut mengingatkan mereka terhadap tokoh pewayangan Arimbi yang digambarkan tinggi, besar dan bertaring sebagai keturunan gandarwa. Menarik perhatian adalah pendapat Stuterheim dalam karyanya berjudul Studies in Indonesian Archaeology yang menyebutkan bahwa Bima merupakan salah satu perwujudan dari Siwa. Apabila Bima adalah perwujudan dari Siwa, maka Arimbi menjadi perwujudan dari Parwati, yang dijadikan arca utama pada bangunan suci tersebut. Memang suatu kebetulan atau bukan ternyata penamaan bangunan suci tersebut sesuai dengan temuan arca-arcanya yang bernafaskan Hindu Siwa.
Beralih ke relief Candi Rimbi yang digambarkan kaku dengan narasi kehidupan Panji dan masyarakat desa. Setidaknya terdapat 51 panil relief diukir dalam bingkai persegi yang ditata berjajar mengelilingi dinding tingkat pertama kaki candi. Relief-relief tersebut tidak digambarkan secara panjang, akan tetapi hanya mengambil adegan-adegan tertentu yang dianggap mewakili isi cerita. Beberapa relief bercerita tentang air dan penyucian diri, sisanya menceritakan aktivitas sehari-hari dan kisah fabel. Kisah Garudeya juga dihadirkan pada Candi Rimbi. Mungkin kisah ini dianggap juga sebagai bagian dari air kesucian sebab dia digambarkan duduk menghadap ibunya yang sedang memberikan restu. Kisah yang hanya digambarkan satu panil tersebut menceritakan babak dimana Garuda memohon restu Winata sebelum mencari air amerta di dasar laut, untuk membebaskan ibunya dari cengkeram Kadru. Relief lainnya yang menceritakan tentang air adalah Sang Satyawan yang dipahatkan dalam beberapa adegan, seperti saat Satyawan dan Suwistri menyeberangi perairan dan saat mereka mandi bersama di dalam satu gentong.
Penggambaran relief Candi Rimbi mengambil gaya kaku seperti gaya relief Majapahit pada umumnya. Kisah-kisah yang ditampilkan pun juga terdapat pada candi lain seperti Garudeya yang juga dipahatkan pada Candi Kedaton maupun kisah Sang Satyawan yang digambarkan lebih jelas nan lengkap pada Pendapa Teras Candi Panataran. Motif floral juga dihadirkan guna mengisi bagian kosong, selain penggambaran tokoh pada adegan relief, untuk memenuhi bidang panil. Konsep ketakutan akan ruang kosong (horror vacui) pada Candi Rimbi tampaknya juga ditemukan pada relief yang dipahatkan pada Percandian Panataran dan Surowono.
Candi Rimbi merupakan candi untuk pemujaan Dewi Parwati. Bangunan ini belum jelas apakah menjadi bangunan suci untuk memuja dewa saja atau juga menjadi bangunan pendharmaan tokoh raja yang telah meninggal. Edi Sedyawati dalam buku Candi Indonesia Seri Jawa menyebutkan jika Candi Rimbi merupakan bangunan pendharmaan yang didedikasikan untuk Ratu Tribhuwana, ratu ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1329-1350. Pendapat tersebut didasarkan atas temuan arca Parwati berukuran besar yang digambarkan berpakaian raya seperti seorang ratu. Apalagi arca tersebut menempati ruang inti bangunan suci yang menandakan bahwa ia merupakan tokoh utama dalam pemujaan. Kehadiran Dewi Parwati sebagai tokoh utama dalam bangunan candi dapat disejajarkan dengan peran Tribhuwana sebagai wanita yang memimpin Majapahit. (Yusuf).