CANDI MINAK JINGGO

0
3361

Berjarak 500 meter ke timur Kolam Segaran, terdapat reruntuhan bangunan dari batu andesit yang dikombinasi bata merah bernama Candi Minak Jinggo. Bangunan tersebut dinamai demikian oleh warga sekitar, sebab mereka mengira arca Garuda bertaring merupakan perwujudan adipati antagonis dari Blambangan, Minak Jinggo. Kisah tentang Adipati Minak Jinggo ditemukan dalam karya sastra Jawa berjudul Damarwulan, karya pujangga Mataram Islam tahun 1736. Kisah tersebut sangat populer di mata masyarakat Jawa yang daerahnya pernah dikuasai Mataram Islam, walau isi ceritanya tidaklah benar terjadi pada Kerajaan Majapahit.

            Bangunan candi telah runtuh menyisakan struktur berukuran 27,8 x 24,3 m. Bagian halaman bangunan dikelilingi pagar keliling berukuran 23 x 22 m tersusun dari bata merah yang direkatkan dengan teknik gosok. Bangunan tersebut menurut Annisa dalam skripsinya ‘Candi Menakjingga Tinjauan Latar Belakang Keagamaan Berdasarkan Penggambaran Relief’ bergaya batur seperti Candi Surawana. Bagian badan dan atap candi hingga saat ini belum dapat dipastikan konstruksinya. Mungkin saja terbuat dari bahan yang mudah lapuk.

            Candi Minak Jinggo memiliki banyak relief, sejumlah 64 panil yang sebagian berada di pelataran candi dan sisanya disimpan di Pengelolaan Informasi Majapahit (PIM). Relief tersebut berkisah tentang fabel berjudul Tantri Kamandaka, Panji Kuda Semirang dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Relief Tantri Kamandaka yang dapat diidentifikasi pada candi ini berkisah tentang buaya yang tidak tau berterima kasih kepada lembu. Ia bukannya berterima kasih atas pertolongan lembu menyelamatkan buaya dari kayu yang menimpanya, malahan berusaha memangsa sang lembu. Melalui kisah tersebut kita dapat belajar bahwa dalam kehidupan ini akan menghadapi sebuah kenyataan bahwa terkadang air susu dibalas dengan air tuba, kebaikan dibalas keburukan.

            Adapun relief Panji Kuda Semirang menurut identifikasi Annisa yang didasarkan pada tulisan Robson berjudul ‘Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang’ mengisahkan perjuangan Panji mendapatkan Dewi Kirana dengan jalan peperangan. Cerita tersebut tidak hanya mengisahkan kehidupan kerajaan saja, akan tetapi juga menyinggung kehidupan masyarakat. Melalui kisah Panji Kuda Semirang kita dapat mengambil beberapa pelajaran. Pertama, betapa pentingnya diri untuk mengimbangi kebutuhan jasmani dengan kebutuhan rohani melalui ibadah kepada Tuhan. Kedua, segala daya upaya yang dikerahkan dalam memperjuangkan sesuatu akan mendapatkan hasil yang setimpal. Ketiga, biarpun pergi dan menyamar seperti apapun, jikalau jodoh akan tetap bertemu dan dipersatukan.

            W. B. Wardeenar pada tahun 1819 melukiskan bangunan suci tersebut dalam kondisi runtuh, hanya menampakkan sedikit komponen bangunan di permukan tanah dan situsnya masih disakralkan oleh masyarakat melalui penggambaran seorang pria melakukan ritual di depan arca Garuda. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga melakukan penelitian tahun 1977 dan berhasil menemukan lokasi struktur dari Candi Minak Jinggo. Temuan tersebut kemudian dieksekusi pada tahun 1988 dengan ekskavasi dan menampakkan sebagian bangunannya. Usaha ekskavasi kemudian dilanjutkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan (Sekarang BPCB Provinsi Jawa Timur) pada tahun 2007 dan menemukan fragmen terakota, mata uang kepeng, fragmen keramik dari Dinasti Yuan (1279 – 1368), fragmen miniatur rumah, genteng, fragmen relief serta arca katak yang terbuat dari batu putih. Candi yang dibuat pada era Majapahit tersebut dibuatkan atap pelindung oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur dan sebagian arca serta komponen candi dipindah ke PIM pada tahun 2007, 2008 dan 2010. (Yusuf).