Candi Kidal

0
2962

Candi Kidal terletak di Dusun Krajan, Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817, beberapa upaya pelestarian telah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu diantaranya tahun 1867 pemerintah Hindia Belanda melakukan pembersihan candi dari pepohonan, berlanjut ditahun 1883 pembersihan Kembali, dan juga dilakukan konservasi candi terutama bagian hiasan-hiasannya. Pada tahun 1925, pemerintah Hindia Belanda menugaskan De Haan untuk memperbaiki Candi Kidal, bagian yang diperbaiki adalah kaki candi pada bagian sudut serta sisi timur bagian tengah. Setelah era kolonial berakhir pemugaran terhadap candi kidal dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur pada tahun 1987/1988 dan tahun 1989-1990, pemugaran ini dilakukan pada seluruh bagian candi dari atap sampai pondasi.

Sumber  tertulis yang dapat memberikan keterangan mengenai latar sejarah Candi antara lain Nagarakrtagama dan Pararaton. Dalam Nagarakrtagama yang digubah oleh Prapanca pada tahun 1287 Saka (1365 M) menceriterakan tentang raja-raja Singasari dan Majapahit. Dalam pupuh 37 menyebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk mengunjungi Candi kidal dan Singasari, selanjutnya menceriterakan asal kerajaan Singasari. Kemudian dalam pupuh 40  dan 41 menceriterakan bahwa Ranggah Rajasa memerintah pada tahun 1104 Saka (1182 M). Pada tahun 1149 Saka (1227 M) beliau kembali ke alam Siwa (wafat), dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa dan di Usana sebagai Budha. Beliau digantikan oleh puteranya, Anusapati. Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh sentosa, rakyat menghormatinya. Pada tahun 1170 Saka (1248 M)Anusapati berpulang ke Siwaloka (wafat) dan didharmakan di Candi kidal dalam wujud sebagai Siwa. Penggantinya adalah puteranya yang bernama Wisnu Wardhana, yang memerintah bersama dengan Narasinga (Slamet Mulyana, 1979: 239).

Berdasar naskah Pararaton, pada bagian III, disebutkan bahwa Anusapati adalah anak dari Tunggul Ametung, raja Singasari dari perkawinannya dengan Ken Dedes. Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok, dan Ken Dedes yang sedang hamil 3 bulan kemudian dikawininya. Ken Arok yang bergelar Sang Amurwabhumi, dibunuh oleh suruhan Anusapati pada tahun 1169 Saka (1247 M). Sesudah itu Anusapati naik tahta pada tahun 1170 Saka (1248 M). Ia kemudian dibunuh oleh Tohjaya (anak Ken Arok dengan Ken Umang) pada tahun 1171 Saka (1249 M) dan dicandikan di Kidal (R Pitono Hardjowardojo, 1965: 31-33).

Dari kedua naskah tersebut terdapat perbedaan mengenai wafatnya Anusapati. Nagarakrtagama menyebutkan 1170 Saka  (1248 M), sedangkan Pararaton pada tahun 1171 Saka (1249 M).

Sumber lain berupa prasasti Maribong, disebutkan bahwa pada tanggal 23 September 1248 kerajaan Tumapel diperintah oleh Jayawisnuwardhana, putera Anusapati. ini berarti bahwa Anusapati tentunya meninggal sebelum tarikh tersebut. Dalam prasasti tersebut, Wisnuwardhana dinyatakan sebagai cucu Raja Rajasa, maka ayah Wisnuwardhana adalah putera Raja Rajasa. Raja Rajasa adalah pendiri kerajaan Tumapel (Slamet Mulyana, 1979: 97-98).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Anusapati wafat sekitar tahun 1248 Masehi, dan Candi Kidal sebagai tempat suci pendharmaannya. Selanjutnya Bernet Kempers berpendapat bahwa pembangunan Candi Kidal diselesaikan pada tahun 1260 Masehi, karena  dapat dihubungkan dengan adanya upacara Srada (dua belas tahun setelah wafat), yaitu pentahbisan Candi Kidal sebagai pendharmaan. 

Bangunan Candi Kidal berdenah bujur sangkar, dengan sisi-sisi berukuran 8,36 meter, memiliki penampil dan tangga masuk di bagian barat. Bentuk bangunan terlihat ramping sebagaimana lazimnya candi gaya Jawa Timuran. Kaki candi lebar dan agak tinggi, dan tubuh candi dibangun agak menggeser ke belakang, bagian atas tubuh candi berbentuk seperti piramida dan puncaknya berbentuk kubus. Bangunan terbuat dari batu andesit, dengan bagian inti pondasi, batur dan kaki terbuat dari bata. Secara keseluruhan, bangunan Candi Kidal ini kondisinya masih utuh, terdiri dari batur, kaki candi, badan candi, dan atap candi.

Ciri khas Candi Kidal terletak pada adanya narasi cerita Garuda terlengkap yang terpahat pada kaki candi. Cara membacanya dengan berjalan berlawanan arah jarum jam, dimulai dari sisi sebelah selatan. Relief pertama menggambarkan Garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda meyangga seorang wanita di atasnya. Menurut kesusasteraan Jawa Kuno, Garudeya, ketiga relief tersebut menggambarkan perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci “amerta”. Berdasar relief Garudeya banyak yang beranggapan bahwa Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya lepas dari penderitaan dan nestapa salama hidupnya, menjadi suci kembali dan wanita sempurna. Relief Garudeya pada Candi Kidal mengambarkan bakti Anusapati kepada ibunya Kendedes.

Upaya pelestarian yang dilakukan terhadap Candi Kidal adalah dengan melakukan kegiatan pemugaran, pencatatan melalui kegiatan inventarisasi, melakukan konservasi secara berkala dan menempatkan juru pelihara. Upaya pelindunngan hukum juga sudah dilakukan dengan menetapkan Candi Kidal sebagai cagar budaya sejak tahun  1998. (Unit Dokpub, BPK XI)