Sebuah bangunan suci berdiri di sisi utara kaki Gunung Welirang, bernama Candi Kesiman Tengah. Masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai Candi Cungkup. Penamaan candi demikian dengan kosakata cungkup memiliki tiga arti. Soekmono dalam bukunya ‘Candi Fungsi dan Pengertiannya’ memaparkan bahwa penyebutan cungkup merupakan sinonim dari bangunan candi. Raffles memiliki pandangan berbeda, menyebut cungkup merupakan bangunan makam bagi masyarakat Jawa. Arti cungkup sendiri dalam bahasa Jawa adalah struktur kecil bertiang empat memiliki atap yang menaungi bangunan pemakaman. Bisa jadi penyebutan cungkup terhadap Candi Kesiman Tengah merupakan bentuk pemahaman yang keliru dari konsep candi sebagai pemakaman seorang raja. Padahal, Soekmono dalam skripsinya membuktikan bahwa candi bukanlah makam, akan tetapi merupakan bangunan suci pemujaan maupun pendharmaan (monumen mengenang kematian tokoh).
Bangunan candi ini memiliki denah serupa dengan Candi Jago maupun Candi Surawana, berupa denah dasar persegi berukuran 7,2 x 7,15 m. Material penyusunnya terdiri dari dua bahan, dalam kitab Manasara Silpasastra disebut sebagai misra, yakni batu andesit pada bagian batur dan bahan mudah lapuk pada bagian atap. Para tukang masa lalu sangat jeli dalam menyusun bangunan tersebut agar saling mengait satu sama lain dengan teknik kuncian. Satu per satu balok batu dilubangi dan balok lainnya dipahatkan tonjolan agar ketika kedua balok tersebut digabungkan saling mengikat.
Candi Kesiman Tengah pada dasarnya terbagi atas tiga bagian, kaki candi yang berbentuk batur, badan candi juga terdiri dari bahan yang sama dan atap candi yang tidak ditemukan sama sekali susunannya. Syinthia Dwi Friani dalam skripsinya berjudul ‘Candi Kesiman Tengah Tinjauan Arsitektural’ memaparkan bangunan suci tersebut memiliki gaya arsitektur seperti Candi Jago atau Candi Naga pada Percandian Panataran. Kaki Candi masih relatif utuh dengan tangga naik sebanyak dua buah di sisi barat. Akan tetapi bagian badan candi telah runtuh dan menyisakan sedikit susunan batu, sisanya teronggok di halaman sekitar candi. Atapnya telah musnah, menurut Syinthia berbentuk tumpang seperti bangunan Candi Jago, bisa juga seperti atap meru pada bangunan pura di Bali.
Menariknya kaki Candi Kesiman Tengah dihias relief Samudramanthana dengan gaya pemahatan diluar langgam seni keraton. Relief tersebut berkisah tentang adegan pemutaran Gunung Mandara oleh para dewata bekerja sama dengan asura untuk mendapatkan air keabadian, tirta amerta. Relief tersebut mengajarkan kepada kita beberapa hal. Pertama adalah betapa pentingnya kerja sama dan kekompakan tim dalam melaksanakan gotong royong mencapai tujuan yang sama. Kedua, menepati janji menjadi hal yang tidak boleh dilupakan, sebab sekali berkhianat akan mendatangkan malapetaka. Ketiga, baik dan buruk dalam bersikap bukanlah takdir, akan tetapi sebuah pilihan.
Kembali ke pembahasan relief Samudramanthana, tampaknya langgam relief tersebut tidak dibuat oleh tukang kerajaan. Gaya pengukirannya sangat kaku seperti mozaik gaya seni Aztek di Amerika Tengah. Gaya seni yang tidak lazim tersebut kemungkinan merupakan karya dari para pertapa yang mendirikan bangunan suci peribadatan tersebut. Terlebih lokasi candi yang berada di ketinggian dan tempat terpencil di Desa Kesiman Tengah, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto merupakan salah satu kriteria bangunan suci karesian. Agus Aris Munandar mengamini hal tersebut. Ia dalam tulisannya ‘Gaya Arsitektur Bangunan Suci di Jawa Timur Abad X – XV Masehi’ menguraikan bahwasanya Candi Kesiman Tengah merupakan bangunan suci yang digunakan para resi, layaknya bangunan pada lereng Gunung Penanggungan. (Yusuf).