Secara administratif candi ini terletak di Dukuh Mojo, Desa Wajakkidul, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
Candi Dadi adalah salah satu karya arsitektur masa Majapahit, dibangun sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV, pada masa terakhir pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Berakhirnya kekuasaan Hayam Wuruk merupakan masa suram bagi kehidupan agama Hindu-Budha di Majapahit.
Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan keraton Majapahit memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya Agama Islam. Dalam kondisi yang demikian, penganut Hindu-Budha berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada dengan melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/tradisi yang dimiliki. Sebagian besar memilih puncak-puncak bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau dan jauh dari pusat keramaian maupun pusat pemerintahan (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Tulungagung, 2007:27)
Penelitian/pencatatan Candi Dadi dilakukan beberapa ahli purbakala, yaitu P.J. Veth (tahun 1878), Hoepermans (tahun 1913), N.J. Krom (tahun 1915 dan 1923), Haase (tahun 1901).
Dalam laporan Belanda pada abad ke-19, disebutkan adanya kelompok bangunan candi (jumlahnya lima) yang berada di lereng utama pegunungan Wajak atau juga disebut pegunungan Walikukun di Tulungagung. Candi Dadi merupakan salah satu dari lima kelompok candi tersebut. Tetapi sekarang ini hanya Candi Dadi saja yang masih tersisa, sedang yang lain sudah tak berbekas lagi.
Keletakannya di puncak bukit yang cukup sulit dijangkau ini dapat dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuna bahwa puncak gunung adalah tanah suci. Anggapan ini merupakan sebuah tradisi yang berlangsung sejak jaman prasejarah yang percaya bahwa arwah para leluhur berada di puncak gunung. Berkenaan dengan paham tersebut, lingkungan alam di sekitar Candi Dadi memang sangat mendukung. Candi Dadi yang berada di puncak bukit dan langsung menghadap lembah Boyolangu di sebelah utaranya merupakan karya arsitektur yang menggambarkan sebuah kemegahan.
Selain sebagai tempat pemujaan, dapat diduga bahwa Candi Dadi dahulu berfungsi juga sebagai tempat pengabuan, pembakaran jenazah tokoh penguasa. Sifat keagamaan yang melatarbelakangi pendiriannya secara tepat belum diketahui. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya data yang mampu menunjang upaya pengenalannya secara langsung. Meskipun demikian sumuran yang terdapat di bagian tengah bangunan candi tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk dari karakter sebuah percandian berlatar belakang keagamaan Hindu (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Tulungagung, 2007: 27 – 28)
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur pada tahun 1996 telah melakukan kegiatan inventarisasi dan registradi di Candi Dadi. Namun sampai saat ini pemugaran Candi Dadi belum pernah dilakukan (Sumber : Lap.Usulan Penetapan Cagar Budaya-2010).