CANDI BANGKAL

0
1092

Tak jauh dari Sungai Brantas di utara Gunung Penanggungan, berdiri bangunan suci bernama Candi Bangkal. Bangunannya tinggi menjulang dengan sebagian atap telah runtuh. Walau begitu, pesona candi berbahan bata merah ini tetap melekat erat. Bangunannya berlanggam menara dengan tipe Singosarian, didirikan menghadap ke barat, arah hadap yang lazim ditemukan pada percandian era Klasik Muda. Bagian depan candi didapati struktur batur memanjang Utara – Selatan yang mungkin dulu digunakan sebagai tempat memuja. Halaman candi tampak sempit, dibatasi pagar keliling berukuran 20 x 20 meter dengan pintu masuk kecil.

            Candi yang ditemukan pertama oleh N. J. Krom tahun 1923 ini memiliki pahatan yang menarik. Pada bagian kaki baik tingkat pertama maupun kedua dipenuhi hiasan tapak dara (motif hias +) berjajar yang dihubungkan dengan garis horisontal seolah-olah sebagai pengikatnya. Hiasan tersebut menampilkan kesan elegan namun tegas pada bagian dasar candi. Setiap sudut diukir hiasan berbentuk kepala kala, yang di Bali lazim disebut sebagai karang sudut. Penggambaran kala pada posisi tersebut sangat jarang ditemukan pada percandian di Jawa. Hiasan selanjutnya didapati pada badan candi dan merupakan satu-satunya, berbentuk rangkaian kelopak bunga yang diukir meliuk-liuk. Bagian atas candi sulit didapati pahatan, kecuali sebagian sisa simbar dan miniatur candi. Nurmulia Rekso Purnomo dalam skripsinya ‘Rekonstruksi Arsitektur Candi Bangkal, Mojokerto, Jawa Timur’ menyatakan bahwa bentuk atap candi tersebut serupa dengan atap Gapura Bajang Ratu maupun Candi Angka Tahun Panataran.

            Penamaan bangunan suci tersebut berasal masyarakat setempat. Bangkal merupakan nama dusun dimana candi tersebut berada, yakni di Desa Candirejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Arti bangkal sendiri adalah nama pohon sejenis sengon atau dalam bahasa latin dikenal sebagai Alibiza procera. Memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jawa sejak masa kuno untuk menamai daerahnya berdasarkan nama tumbuhan maupun binatang. Nama asli dari Candi Bangkal sendiri tampaknya masih belum dapat dipastikan, sebab minimnya data pendukung. Pun pada candi tersebut tidak ditemukan prasasti maupun angka tahun. Padahal tren pendirian bangunan suci pada Masa Majapahit disertakan angka tahun sebagai penanda waktu pembangunan.

            Penamaan bangunan suci tersebut berasal masyarakat setempat. Bangkal merupakan nama dusun dimana candi tersebut berada, yakni di Desa Candirejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Arti bangkal sendiri adalah nama pohon sejenis sengon atau dalam bahasa latin dikenal sebagai Alibiza procera. Memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jawa sejak masa kuno untuk menamai daerahnya berdasarkan nama tumbuhan maupun binatang. Nama asli dari Candi Bangkal sendiri tampaknya masih belum dapat dipastikan, sebab minimnya data pendukung. Pun pada candi tersebut tidak ditemukan prasasti maupun angka tahun. Padahal tren pendirian bangunan suci pada Masa Majapahit disertakan angka tahun sebagai penanda waktu pembangunan.

            Bagian dalam dari candi setinggi 10,8 meter tersebut berupa ruang kosong tanpa arca. Demikian pula pada kelima relung yang mengelilingi fasad candi. Oleh karenanya sulit menentukan nafas agama yang melandasi pendirian bangunan suci tersebut. Menariknya pada bagian dalam candi terdapat batu sungkup berhiaskan tokoh penunggang kuda yang dikelilingi sinar matahari. Beberapa ahli menyebutnya sebagai Dewa Surya. Penggambaran tokoh serupa lazim ditemukan pada percandian era Majapahit, seperti pada Candi Simping, Candi Sawentar, Candi Kalicilik, Candi Angka Tahun Panataran, Candi Kebo Ireng dan Candi Jawi. Beberapa ahli menduganya sebagai lambang negara Majapahit.

            Kondisi saat ini dari Candi Bangkal mengkhawatirkan. Beberapa bagian telah runtuh dan menyisakan struktur seperti pagar keliling dan batur. Dinding candi mengalami keropos hebat. Menurut kajian yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur pada tahun 1992, yang dilanjutkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur pada tahun 2017 mendapati hasil bahwa bangunan tersebut memiliki kandungan kapur yang sangat besar pada bagian bata merah, sehingga ketika hujan turun menjadikan bata bersifat asam. Sifat asam tersebut lah yang membuat bata penyusun menjadi korosif. Polusi industri juga menyumbang dampak korosi pada bangunan suci tersebut. Tak jauh di wilayah selatan candi tersebut terdapat banyak pabrik industri yang setiap hari melakukan aktivitas produksi dan menghasilkan polusi. (Yusuf)

Keterkaitan informasi:

Artikel 1

Artikel 2