Candi Badut terletak di desa Karangwidoro, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Candi Badut ditemukan pada tahun 1921 oleh Maureen Brecher, seorang kontrolir dari Kantor Pamong Praja yang ada di Malang, saat ditemukan Candi Badut dalam kondisi telah rusak, ditumbuhi pepohanan dan tertutup tanah, kemudian pada tahun 1923 – 1926 Dinas Purbakala di bawah pimpinan F.D.K Bosch dan B. de Haan melakukan kegiatan pemugaran. usaha ini diawali dengan pelaksanaan penggalian yang dilakukan sampai mencapai dasar bangunan. Hasil dari penggalian ini diketahui bahwa candi ini telah runtuh sama sekali, kecuali beberapa bagian yang masih dapat dilihat susunannya.
Nama Candi Badut telah disinggung berungkali oleh beberapa ahli yang dihubungkan dengan Prasasti Dinoyo yang berangka tahun 682 Saka atau 760 Masehi, Prasasti Dinoyo sendiri saat ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Secara ringkas prasasti ini mula-mula menyatakan bahwa dahulu ada seorang raja yang bijaksana lagi berkuasa, bernama Dewasingha. Di bawah naungannya, maka api Putikeswara yang memancarkan sinar menerangi sekelilingnya. Anaknya, Raja Gajayana membuat prasasti ini untuk memperingati didirikannya sebuah kuil indah untuk Sang Resi Agung (Maharsibhawana) dengan sebutan Walahajiridyah, dan diresmikannya Arca Agastya yang baru, terbuat dari batu hitam yang indah, sebagai pengganti dari arca lama yang terbuat dari kayu cendana yang lapuk. Pada kesempatan ini sang raja menghibahkan tanah, lembu, budak, perlengkapan saji, mengadakan berbagai upacara (brandoffer en wesschingen) untuk menghormati Sang Resi. Pada baris keempat prasasti Dinoyo disebutkan pula bahwa Raja Gajayana membuat bangunan candi yang amat indah untuk Agastya dengan maksud untuk membinasakan penyakit yang menghilangkan semangat (kekuatan). Menurut Dr. Bosch semua bagian dari Candi Badut itu bersifat asli seni Jawa Tengah.
Nama badut sendiri ditafsirkan merupakan arti dari kata Liswa, kata ini tertulis pada baris ke dua pada prasasti Dinoyo yang merupakan nama lain dari raja Gajayana, pada awalnya menimbulkan beberapa interpretasi dalam pembacaannya. Nama ini mula-muka dibaca oleh Dr. Brandes sebagai Limwa, kemudian Dr. Bosch membaca yang pertama kali dengan Liswa kemudian yang ke dua Limwa. Setelah dibaca lagi dengan seksama maka bacaan yang benar adalah Liswa, sebab hurufnya lebih dekat kepada –swa daripada –mwa. Di dalam kamus Sansekerta kata Liswa berarti “anak kemidi, tukang tari”, yang didalam bahasa Jawa sepadan dengan kata “badut”.
Pada situs Candi Badut terdapat struktur candi induk, struktur candi perwara, dan fragmen arca, dan komponen bangunan yang ditata berjajar di depan struktur candi. Tinggalan terbesar di situs ini adalah struktur candi induk yang bernomor registrasi 264/MLG/1997. Candi terbuat dari batu andesit dengan arah hadap ke barat. Batur berbentuk persegi panjang dan terdiri dari tiga jenjang yang keselurahannya polos tanpa hiasan, berukuran 10,76 m x 10,76 m x 1,3 m. Bagian kaki berbentuk bujur sangkar yang berdiri diatas batur. Diantara bagian ini terdapat selasar selebar ± 1,5 meter. Kaki candi ini polos tanpa hiasan maupun ornament. Sisi barat kaki candi terdapat penampil tangga naik, pipi tangga berbentuk lengkungan dan berujung bentuk ukel dengan bagian pangkal berhias kala naga. Sisi utara dan selatan pipi tangga berhias ornamen burung berdiri di atas bunga teratai.
Tubuh candi berbentuk bujur sangkar, pada sisi barat terdapat penampil dan pintu yang pada kanan-kirinya terdapat relung-relung. Penampil dan relung-relung tersebut dihias dengan kala tanpa rahang bawah, bingkai penampil dihias dengan sulur-suluran. Pada sisi dengan kala tanpa rahang bawah, bingkai penampil dihias dengan sulur-suluran. Pada sisi timur, utara, dan selatan terdapat relung-relung. Pada kanan-kiri relung berhias kombinasi antara makara dan tumbuh-tumbuhan yang distilir, serta bingkai atas relung berhias relief kala tanpa rahang bawah. Di atas kepala kala terdapat relief bangunan dan sepasang mahluk dengan bunga teratai di antara kedua mahluk tersebut. Bidang kosong pada kanan-kiri relung tersebut dihias dengan hiasan kepala ceplok bunga. Relung sisi timur dan selatan kosong sedangkan relung sisi utara terdapat arca Durga Mahisasuramardini dalam posisi menginjak siluman kerbau. Arca tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah, bagian kepala sebatas leher hilang.
Bilik candi berukuran 3,45 meter x 3,45 meter terdapat lingga-yoni di dalamnya. Lingga mengalami kerusakan pada bagian ujungnya yang rumpil. Yoni dalam kondisi pecah. Pada dinding bilik dilengkapi dengan relung-relung kosong, sisi utara, timur, dan selatan terdapat satu relung sedangkan sisi barat terdapat dua relung. Atap candi tidak dapat dikenali bentuknya kembali karena hanya tersisi lima lapis batu. Selain struktur candi terdapat pula tinggalan lepas di situs ini, antara lain dua yoni, fragmen arca Nandi, dua altar, dan fragmen arca. bagian barat pelataran, yaitu di sisi kiri dan kanan halaman depan bangunan candi, terdapat blok-blok batu bagian bangunan candi yang belum dapat di kembalikan ke tempatnya semula. (Unit Dokpub, BPK XI)