Berbentuk tambun dengan dasar bangunan berupa lapik polos, menjadikan Candi Badut sebagai bangunan suci Hindu-Buddha tertua di Jawa Timur. Atapnya telah tiada, walau begitu berdasarkan sisa temuan kemuncak berbentuk buah keben menunjukkan bahwa dulunya candi tersebut dibangun dengan gaya Klasik Tua. Hal itu juga diperkuat dengan adanya ukiran kepala kala pada ambang pintu disertai makara distilir yang menjulur di sisi kanan – kiri pintu masuk. Walau begitu, terdapat satu ciri Candi Badut yang tidak sesuai lazimnya bangunan masa Klasik Tua, yaitu arah hadap candi utama ke barat. Arah hadap tersebut lah yang juga menjadikannya sebagai bangunan Klasik Tua dengan arah hadap berbeda di Jawa Timur.
Candi Badut berdiri di tanah lapang lembah Sungai Metro membuatnya tampak megah nan klasik, berbaur dengan perumahan warga Desa Karang Besuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Bangunan berukuran 11 x 11 meter tersebut disusun menggunakan material batu andesit. Para tukang dengan jeli menyusun bebatuan persegi menjadi bangunan besar dengan berbagai teknik kuncian. Semua ditata dengan indah dan presisi. Susunan dari bawah ke atas berupa lapik persegi yang ditumpangi oleh badan candi dan atap yang telah runtuh. Pada bagian depan terhubung ruang bernama antarala yang menjadi tempat transisi antara dunia luar dengan bagian inti candi. Terdapat sebuah tangga naik menghubungkan pelataran dan antarala, diapit pipi tangga yang berhias gelungan. Seluruh fasad pada badan candi berhias motif kertas tempel rumit yang ditata apik mengisi bidang kosong.
Terdapat arca Agastya yang telah aus menempati relung selatan bangunan. Ada pula arca Durga bertangan delapan yang sedang berkacak pinggang setelah berhasil membunuh iblis kerbau, lazim disebut sebagai Durga Mahisasuramardhini. Kedua arca tersebut berukuran kecil, hanya setinggi setengah dari tinggi relung dan nampak seperti dewa-dewi mungil yang menyelinap pada relung Candi Badut. Pun keanehan juga terdapat pada bagian inti bangunan, yangmana didapati lingga-yoni yang tidak sesuai ukurannya. Lingga yang dipahatkan halus, namun telah mengalami vandalisme, dipasangkan dengan yoni yang lubangnya terlalu besar untuk ukuran lingga tersebut. Ada pula relung kecil yang kini telah kosong, persis di belakang lingga yoni berhadapan dengan pintu masuk. Terlepas dari ketidaklaziman tersebut, setidaknya telah didapatkan petunjuk bahwa bangunan tersebut didedikasikan kepada Dewa Siwa dan keluarganya.
Berkaitan dengan konsep keagamaan yang diusung pada Candi Badut, dapat ditelusuri berdasarkan tinggalan prasasti yang pecah menjadi tiga bagian. Prasasti yang ditemukan di Desa Merjosari tersebut dikenal sebagai prasasti Dinoyo, atau terkadang juga disebut sesuai nama desa ditemukannya. Batu bertulis tersebut menguraikan tentang Raja Gajayana yang mendirikan bangunan suci dan mengganti arca Kumbayoni (salah satu aspek Siwa) terbuat dari kayu cendana ke arca berbahan batu agar awet. Peristiwa yang terjadi pada 760 Masehi tersebut menyiratkan tentang konsep keagamaan yang dianut masyarakat Merjosari kuno adalah Hindu Siwa dan Candi Badut merupakan salah satu tinggalannya.
Berkaitan dengan konsep keagamaan yang diusung pada Candi Badut, dapat ditelusuri berdasarkan tinggalan prasasti yang pecah menjadi tiga bagian. Prasasti yang ditemukan di Desa Merjosari tersebut dikenal sebagai prasasti Dinoyo, atau terkadang juga disebut sesuai nama desa ditemukannya. Batu bertulis tersebut menguraikan tentang Raja Gajayana yang mendirikan bangunan suci dan mengganti arca Kumbayoni (salah satu aspek Siwa) terbuat dari kayu cendana ke arca berbahan batu agar awet. Peristiwa yang terjadi pada 760 Masehi tersebut menyiratkan tentang konsep keagamaan yang dianut masyarakat Merjosari kuno adalah Hindu Siwa dan Candi Badut merupakan salah satu tinggalannya.
Prasasti tersebut memang tidak menyebutkan secara jelas nama bangunan yang didirikan. Akan tetapi Poerbatjaraka berpendapat bila nama Candi Badut dapat dihubungkan dengan nama kecil Raja Gajayana, lisva. Nama sang raja memiliki makna sebagai komedian atau tukang lawak, kosakata yang sama dengan ‘badut’ di masa kini. Sebuah bentuk pelestarian nama yang menarik, dilakukan oleh masyarakat Merjosari untuk menyebut bangunan suci yang telah berusia seadab lebih itu.
Tidak dapat dipastikan sejak kapan Candi Badut telah ditinggalkan pemujanya. Mungkin saja bangunan tersebut tidak eksis lagi bersamaan dengan tenggelamnya kabar Kerajaan Kanjuruhan. Yang jelas bangunan tersebut setelah ditemukan pada 1921, dua tahun kemudian dipugar oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dikepalai oleh F.D.K. Bosch dan B. de Haan. Pemugaran yang memakan waktu tiga tahun tersebut berhasil menampakkan bentuk aristektur candi seperti yang dapat kita lihat hingga saat ini. Pun Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur juga kembali memugar candi tersebut dengan memperkokoh konstruksi bawah candi yang berdiri di tepi sungai tersebut selama tiga tahun sejak 1990.
Bangunan suci tersebut unik, memiliki nilai penting bagi awal mula peradaban Hindu-Buddha di Jawa Timur. Oleh karenanya Candi Badut dinobatkan sebagai Bangunan Cagar Budaya peringkat Nasional pada tahun 2016 dengan dasar SK Menteri No. 203/M/2016. Melalui penetapan tersebut menjadikan Candi Badut sebagai masterpiece warisan budaya yang patut dibanggakan bukan hanya oleh masyarakat Malang atau Jawa Timur, tetapi masyarakat Indonesia juga. (Yusuf)