ARCA DWARAPALA

0
7077

Ukurannya sangat besar setinggi 370 cm menjadikannya sebagai arca Dwarapala terbesar di Indonesia. Perwujudannya digambarkan menyeramkan dengan badan yang besar, mata melotot, taring menyeringai dan berbagai perhiasan penuh ornamen tengkorak. Ia merupakan penggambaran raksasa menakutkan, tak segan untuk mengusir makhluk yang hendak berbuat kejahatan. Arca tersebut menjadi penjaga kawasan percandian di Candirenggo, Singosari, Malang.

            Arca Dwarapala Singosari berjumlah sepasang. Satu arca berada di sebelah utara menghadap ke timur. Tampaknya inilah posisi arca yang masih menempati orientasi aslinya. Pasangannya yang berada 30 meter di selatan telah berganti posisi menghadap ke utara. Pergeseran arca tersebut tidak diketahui sejak kapan terjadi, tetapi sangat mungkin ketika Pemerintah Hindia Belanda mengangkat arca yang pada abad 19 Masehi masih terpendam separuh tubuh.

            Keletakan orientasi arca ini menarik dikaji sebab berlawanan arah dengan Candi Singosari yang menghadap ke barat. Peletakan umum dwarapala dalam konteks bangunan suci biasanya berada di depan candi searah hadap dengan bangunan yang dijaganya. Masyarakat sekitar meyakini bahwa arca raksasa tersebut menjaga tanah lapang di belakangnya yang disebut sebagai “Alun-alun Singosari”. Pendapat lainnya diungkapkan Agus Aris Munandar dalam bukunya “Arkeologi Pawitra” bahwa arca tersebut bukanlah menjaga bangunan suci Singosari, akan tetapi menjaga Gunung Arjuno – Welirang yang menjadi kahyangan dewa. Dengan demikian ukuran arca yang besar sangat lumrah sebab menjadi penjaga gunung suci yang besar pula. Gunung tersebut memiliki konsep filosofi yang sama dengan candi sebagai rumah dewata.

            Dwarapala pada mulanya merupakan Yaksa, sebangsa makhluk halus penguasa tanah yang ditakuti manusia di India. Ia kemudian dipuja sebagai pelindung kesuburan tanah guna mendatangkan sumber kehidupan. Saat agama Hindu dan Buddha berkembang di India, makhluk tersebut disejajarkan dengan kelompok setengah dewa, setingkat di bawah dewata. Ia ditugaskan mendampingi para dewata. Sebab itulah pada masa selanjutnya penggambarannya diletakkan di depan bangunan suci sebagai penjaga. Sesuai tugasnya, yaksa tersebut diberi nama Dwarapala, Sang Penjaga Pintu atau Penjaga Arah.

            Persebaran Dwarapala di Nusantara seiring dengan perkembangan agama Hindu-Buddha. Kerajaan-kerajaan di Jawa mengadopsi budaya India mulai dari kesenian hingga arsitekturnya. Walau budaya India diserap dengan baik oleh masyarakat Nusantara, akan tetapi nenek moyang tidak begitu saja menerima pengaruh asing. Mereka menyesuaikan budaya yang masuk dengan identitas serta tradisi yang telah dianutnya, termasuk dalam penggambaran Dwarapala Singosari. Arca tersebut walau digambarkan bengis namun tetap memperhatikan unsur keindahannya. Penggambaran arca natural dengan detail bagian tubuh menyerupai manusia menjadi ciri khas gaya seni Singhasari. Terlebih adanya penciri berupa hiasan demonik berupa kepala tengkorak menguatkan ciri-ciri arca masa Singhasari akhir yang kental dengan unsur Tantrayana. Penggambaran tersebut lah yang membedakan arca Dwarapala Singosari dengan arca Dwarapala di India.

            Penggambaran arca Dwarapala Singhasari menunjukkan identitas arca sebagai bagian seni kerajaan. Kelengkapan arca dan pemahatan yang halus menjadi indikator kuat karya tersebut dilakukan oleh pemahat profesional. Arca Dwarapala pertama digambarkan duduk dengan kaki kiri ditekuk ke belakang dan kaki kanan ditekuk ke depan. Tangan kanannya memegang gada yang disandarkan pada paha kanan, sedang tangan kanannya menunjukkan mudra mengusir, ditandai dengan jari telunjuk dan jari tengah diacungkan serta sisanya ditekuk. Arca kedua digambarkan serupa dengan arca pertama, hanya saja terdapat perbedaan pada posisi kaki yang berlawanan dan tangannya tidak melakukan mudra mengusir, melainkan diletakkan di atas lutut.

            Arca digambarkan beratribut raya sesuai ketentuannya sebagai Dwarapala. Ia mengenakan tali selempang, kelat bahu, gelang tangan dan gelang kaki dari lilitan ular yang dalam bahasa ikonografi disebut sebagai naga. Terdapat pula kalung yang berupa untaian tengkorak dan manik-manik yang dirangkai indah mengelilingi leher hingga dada. Ikat dadanya digambarkan berupa rangkaian manik-manik dalam bidang berbentuk segitiga. Selanjutnya arca hanya mengenakan pakaian berupa kain sebatas perut hingga lutut. Bagian atas kain dipererat dengan ikat pinggang yang terbuat dari tali yang dihias dengan manik-manik berpadu kepala tengkorak. Penggambaran tersebut menguatkan posisinya sebagai arca berlanggam kerajaan. Tidak diketahui secara pasti kapan arca Dwarapala dan kawasan percandian Singosari ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Begitu pula dengan alasan masyarakat meninggalkan kawasan tersebut yang masih menjadi misteri. Kabar tertua dari arca tersebut didasarkan pada laporan Nicolaus Engelhard tahun 1803 sewaktu mengunjungi Singosari. Kala itu kawasan di sekitar arca merupakan hutan jati yang ditumbuhi semak belukar. Begitu pula dengan penggambaran Raffles dalam bukunya History of Java yang memberitakan bahwa pada kawasan hutan tersebut terdapat reruntuhan candi dan arcanya yang masih dikeramatkan penduduk sekitar. Kini wilayah tersebut kembali hidup dengan ditempati masyarakat baru yang membawa peradaban baru. Mereka hidup berdampingan dengan karya nenek moyang dari masa kuno, abad 13 Masehi. (Yusuf)