Bangunan SMPK Yohanes Gabriel yang berada di Jl. Diponegoro No. 38, Sananwetan, Blitar, pada masa kolonial berfungsi sebagai sarana penunjang kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh umat Katolik di Blitar. Jika bangunan SMAK Diponegoro yang terletak di kiri (selatan) gereja dahulu merupakan gedung HIS (Hollandsch Inlandsche School), maka bangunan ini merupakan asrama yang diperuntukkan bagi pengasuh sekolah tersebut.
Blitar pada masa kolonial memang menjadi salah satu kota yang menjadi pusat misi-misi Katolik. Mereka terutama bergerak dalam bidang pendidikan. Pada 1 Juli 1926 berdiri HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang terafiliasi dengan Yayasan Yohanes Gabriel. Sekolah inilah cikal bakal dari SMAK Diponegoro sekarang, yang juga menempati bangunan sekolah yang sama.
Pada 1927 sekolah ini dilengkapi dengan asrama dan pastoran. Dua orang romo kemudian tinggal di tempat itu yaitu Rm. J. Wolters dan Rm. A. Basiaensen. Selain itu didatangkan pula suster-suster abdi roh kudus (SSpS) yang sebelumnya sudah hadir di Surabaya untuk menangani rumah sakit (RKZ). Di Blitar mereka berkarya terutama di bidang pendidikan bagi anak gadis dan pemeliharaan kesehatan bagi warga kampung yang miskin.
Sebenarnya pendirian sekolah tersebut lebih dulu daripada pendirian gereja Yohanes Gabriel di Blitar. Pada 1926 di Blitar belum ada gereja. Orang katolik Jawa hanyalah lulusan Muntilan, yaitu Clauidianus Tosin Sindoeperwata, guru Jawa pertama, disusul Silverius Ismail Hardjodarsono, Wilhelmina Walgitanimah, lulusan Mendut dan Mook. Ikut membantu Martinus Martodiardjo, pengawas sekolah dan katekis serta Martina, istrinya. Mereka didampingi W.J. Jansen dari Nijmegen, Belanda sebagai kepala sekolah, yang sebelumnya bertugas di Belanda, Muntilan, dan Purwokerto. Pada tahun 1927 guru bertambah; Mintarti, R. Sunarja, dan Wies Ludwig. Para guru tersebut tinggal di asrama, sekaligus bertindak sebagai pengasuh.
Baru pada tahun 1931 bertepatan dengan Hari Raya Pantekosta 24 Mei, diadakan upacara peletakan batu pertama gereja Blitar yang dipersembahkan kepada St. Yusup, oleh Mgr. de Backere. Gereja tersebut terletak di sebelah pastoran, di antara HIS Yohanes Gabriel (sebelah kiri, yang sekarang menjadi SMAK Diponegoro) dan asrama (sebelah kanan, yang sekarang menjadi SMPK Yohanes Gabriel).
Memasuki tahun 1939 umat Katolik di Blitar meraih catatan yang istimewa. Pemeluknya dari kalangan penduduk Eropa berjumlah 476 orang dan penduduk non-Eropa mencapai 496 orang. Sehingga Blitar menjadi satu-satunya wilayah di Prefektur Apostolik Surabaya yang jumlah penganut non-Eropa nya lebih besar daripada pemeluk dari kalangan Eropa.
Tetapi sejak tahun 1942, keberadaan umat Katolik dan lembaga pendidikannya di Blitar ini mendapat tantangan akibat pendudukan Jepang. Dalam sebuah suratnya kepada Paus di Roma pada 8 Maret 1947, Mgr. Verhoeks (…. ) mengatakan bahwa pada bulan-bulan pertama pendudukan Jepang di Blitar, gereja umumnya tidak mendapat gangguan yang berarti. Tetapi sekolah-sekolah segera tutup setelah itu. Sementara itu, R.J. Soenardja, seorang guru dan pelaku sejarah di Yayasan Yohanes Gabriel sejak 1927, melaporkan bahwa segera setelah Jepang datang, organisasi-organisasi dibubarkan atau dilumpuhkan. Sekolah-sekolah dari berbagai tingkatan, baik negeri maupun swasta ditutup. Baru pada 1 april 1942 sekolah dasar boleh dibuka, sedang sekolah lanjutan harus tetap ditutup. HIS Yohanes Gabriel sendiri baru bisa dibuka pada 28 Mei 1942 setelah pemimpin Jepang di Kediri mengabulkan ijin R.J. Soenardja, sebagai kepala sekolah, untuk membuka kembali HIS Yohanes Gabriel.
Masa pendudukan Jepang ini benar-benar menjadi masa yang sulit bagi umat Katolik Blitar. Walaupun ijin untuk membuka kembali HIS dikabulkan oleh Jepang, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. R.J. Soenardja dalam laporannya menyatakan bahwa meskipun gedung gereja aman, tidak diambil alih Jeang, namun gedung-gedung Misi lainnya termasuk gedung sekolah diambilalih Jepang secara sepihak. Gedung HIS Yohanes Gabriel dipakai sebagai kantor Jawatan Kehutanan. Begitu pula dengan gedung Misi di Jl. Diponegoro dan pastoran yang digunakan untuk asrama pemuda-pemuda Tionghoa yang dilatih menjadi Seinendan dan Kaibodan. . (Lap. Inventarisasi ODCB Kota Blitar 2017)