Sejarah Malang

0
1984

Kabupaten Malang memiliki tanggal 28 Nopember sebagai hari jadi. Tanggal itu diambil dari penanggalan atau candrasengkala yang dimuat dalam Prasasti Dinaya atau Kanjuruhan yang berbunyi “Nayana-Vayarase” yang bernilai 682 tahun Caka atau tahuun 760 Masehi. Prasasti ini menyebutkan peresmian tempat suci pada hari Jum’at Legi tanggal 1 Margasirsa 682 Saka, yang bila diperhitungkan berdasarkan kalender kabisat jatuh pada tanggal 28 Nopember 760.

Apabila prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Gajayana pada tahun 760 sesudah Masehi, maka paling tidak prasasti itu merupakan sumber tertulis tertua tentang adanya fasilitas politik yakni berdirinya Kerajaan Kanjuruhan di wilayah Malang. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Dinoyo yang terletak 5 km sebelah barat Kota Malang. Di tempat itu menurut penduduk disana masih ditemukan patung Dewasimha yang terletak di tengah pasar walaupun hampir terbenam ke dalam tanah.

Oleh para ahli sejarah, adanya Kerajaan Kanjuruhan dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang. Setelah Kerajaan Kanjuruhan, di masa emas Kerajaan Singasari (1000 tahun setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur.

Ketika Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Akuwu Tunggul Ametung yang beristrikan Ken Dedes, kerajaan itu di bawah kekuasaan Kerajaan Kadiri. Pusat pemerintahan Singasari saat itu berada di Tumapel. Baru setelah muncul Ken Arok yang kemudian membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan kemudian menikahi Ken Dedes, pusat kerajaan berpindah ke Malang, setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Kadiri, dan saat jatuh ke tangan Singasari statusnya menjadi Kadipaten. Sementara Ken Arok mengangkat dirinya sebagai raja yang bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana atau Dhandang Gendhis (1185-1222).

Kerajaan ini mengalami jatuh bangun semasa kejayaan Mataram, kerajaan-kerajaan yang ada di Malang jatuh ke tangan Mataram, seperti halnya Kerajaan Majapahit. Sementara pemerintahan pun berpindah ke Demak disertai masuknya agama Islam yang dibawa oleh Wali Songo. Malang saat itu berada di bawah pemerintahan Adipati Ronggo Tohjiwo dan hanya berstatus kadipaten. Pada masa-masa keruntuhan menurut cerita rakyat, muncul pahlawan legendaris Raden Pulongjiwo. Ia tertangkap prajurit Mataram di Desa Panggungrejo yang kini disebut Kepanjen (Kepanji-an). Hancurnya Kota Malang saat itu dikenal sebagai Malang Kutho Bedhah.

Walaupun nama Malang telah mendarah daging bagi penduduknya, tetapi nama tersebut masih merupakan tanda tanya. Para ahli sejarah masih terus menggali untuk memperoleh jawaban tepat atas pertanyaan tersebut. Sampai saat ini telah diperoleh hipotesa mengenai asal-usul nama Malang. Malangkucecwara yang tertulis di dalam lambang kota itu menurut salah satu hipotesa merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni prasasti Mantyasih tahun 907 M, dan prasasti 908 M yakni diketemukan di salah satu tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya bangunan suci Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih belum memperoleh kesepakatan. (Lap. Kegiatan Verifikasi ODCB di Kabupaten Malang)