Identifikasi Kerusakan Candi Brahu

0
1792

Candi Brahu merupakan salah satu bangunan cagar budaya berbahan bata yang berada di Kawasan Cagar Budaya Trowulan. Candi yang telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya berdasarkan SK Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Nomor 177/M/1998 Tanggal 21 Juli 1998 ini secara administratif terletak di Dusun Bejijong, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, tepatnya pada koordinat 07°32’34,9” LS dan 112°22’28,2” BT. Bangunan cagar budaya ini telah dilakukan pemugaran secara parsial pada tahun 1990 – 1995. Dalam upaya menjaga keterawatan candi, maka pengidentifikasian penyebab kerusakan perlu dilakukan secara berkala. Dari hasil observasi pada bulan Januari 2017 diketahui bahwa kerusakan yang terjadi pada Candi Brahu disebabkan oleh faktor fisik berupa retak, pecah, rapuh, membubuk, dan aus. Selain itu, kerusakan juga disebabkan oleh proses kimia berupa penggaraman dan pengelupasan serta faktor biologi berupa pertumbuhan organisme tingkat rendah dan tingkat tinggi, contohnya : lumut, alga, lichenes dan tumbuhan paku-pakuan. Tidak hanya tumbuhan yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan, tetapi manusia juga berpotensi merusak cagar budaya yang dikenal dengan sebutan vandalisme. Bentuk vandalisme yang ditemukan di Candi Brahu berupa coretan cat dan goresan benda tajam. Beberapa jenis kerusakan ini memang sering dijumpai pada cagar budaya yang tersusun atas bata dan batu terutama yang berada di lingkungan terbuka.

Ditinjau dari penyebabnya, kerusakan cagar budaya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : kerusakan fisik, kimia, dan biologi. Kerusakan fisik pada cagar budaya berbahan bata disebabkan oleh adanya tekanan baik vertikal maupun horizontal serta gesekan kaki pengunjung sehingga menyebabkan perubahan struktur bangunan. Jika kerusakan fisik hanya menyebabkan perubahan sifat fisik material bata, lain halnya dengan kerusakan kimia yang juga menyebabkan perubahan sifat kimia dari material tersebut. Jadi, faktor kimia ini tidak hanya memicu terjadinya kerusakan tetapi juga pelapukan material bata. Kerusakan akibat faktor kimia pada umumnya disebabkan adanya perubahan ikatan kimia atau terlepasnya beberapa unsur kimia yang ada di dalam material. Untuk kerusakan biologi dapat disebabkan oleh pertumbuhan organisme tingkat rendah maupun tingkat tinggi yang proses penyebarannya melalui spora atau biji. Tidak hanya tumbuhan, kerusakan biologi juga dapat disebabkan oleh kotoran hewan yang melekat pada material bata. Kotoran ini berpotensi merusak material cagar budaya karena adanya kandungan asam oksalat hasil metabolisme hewan tersebut. Apabila ditinjau dari faktor yang mempengaruhi kerusakan material cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : biotik dan abiotik. Faktor biotik dipengaruhi oleh manusia, hewan, dan tumbuhan sedangkan faktor abiotik dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembaban udara, hujan, angin, sinar matahari, pH air, pH dan kelembaban tanah, serta bencana alam.

Melihat jenis kerusakan di atas yang cukup beragam, maka untuk penanganannya tidak bisa dilakukan hanya dengan satu metode. Dalam penentuan metode penanganan yang perlu diperhatikan adalah penggunaan bahan, alat, dan prosedur harus bersifat efektif, efisien, aman, reversibel, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi timbulnya dampak negatif bagi cagar budaya. Mengingat material cagar budaya berbahan bata pada umumnya lebih rapuh dibanding batu, maka penanganannya pun harus lebih berhati-hati dan seminimal mungkin menggunakan bahan kimia sintetis. Apabila kerusakan pada material bata hanya dapat dilakukan menggunakan bahan kimia sintetis, maka konsentrasinya dipilih yang paling rendah terlebih dahulu. Pemilihan dan penggunaan bahan kimia ini harus didahului dengan pengujian pada material baru yang memiliki unsur yang serupa. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keefektivan bahan sehingga material cagar budaya tidak dijadikan objek uji coba yang dampaknya dapat merusak material tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kunci utama terwujudnya kelestarian cagar budaya terletak pada pelaksana pemeliharaan, yaitu : konservator yang harus memahami jenis kerusakan dan teliti dalam menentukan metode penanganan yang paling tepat. (Ira Fatmawati)

Pengukuran pH dan kelembaban                         tanah
Pendataan jenis tanaman
Beberapa jenis kerusakan pada                        atap candi