Riwayat Bojonegoro

0
1886

Sejarah Bojonegoro berurat akar dari masa prasejarah dan wilayah ini mungkin merupakan salah satu habitat manusia tertua yang pernah ditemukan. Pada tahun 1890 Eugene Dubois, seorang tenaga medis pemerintah kolonial Belanda menemukan sisa-sisa fosil Pithecantropus Erectus, manusia peralihan antara kera dan manusia, di Trinil. Penemuan-penemuan lain yang lebih penting menyusul kemudian dan para ilmuwan umumnya setuju bahwa prototype homo sapiens ini hidup setengah juta tahun yang lalu pada periode pleistosen pertengahan. Ilmuwan Indonesia T. Yacob memperkirakan bahwa selama periode ini ada sekitar setengah juta Pithecantropus Erectus yang sebagiannya hidup di hutan lebat yang menutupi daerah Bojonegoro. Sisa-sisa manusia yang sudah sempurna, manusia Solo, ditemukan di dekat Bengawan Solo di Ngandong sebelah utara Trinil yang diperkirakan berusia 60 hingga 100 tahun. Selain itu para imigran dari China Selatan, Ras Melanoid, Australoid, dan Negrito, yang berdiam di Indonesia pada periode Mesolitikum (antara 5000-3000 SM) meninggalkan jejak-jejak mereka di gua-gua perbukitan kapur sebelah utara dekat Bojonegoro, tempat ditemukannya sendok besar dari tulang dan ujung anak panah dari batu. Temuan-temuan serupa ada di distrik pesisir di Tuban. Terakhir, kapak-kapak dari jaman perunggu-besi (500-200 SM) ditemukan di Bojonegoro dan makam batu muncul di Cepu pada sisi lain Bengawan Solo.

Pada masa sejarah karena potensi pertaniannya yang buruk, Bojonegoro adalah wilayah yang kurang dikenal dan terpencil. Keunggulan yang dapat diandalkan hanyalah hutannya yang sangat berharga. Kota-kota pesisir, Tuban dan Rembang terkenal dengan industri pembuatan kapal yang kayunya diambil dari hutan-hutan wilayah Bojonegoro dan Blora melalui kerja paksa. Penebangan kayu adalah tugas golongan masyarakat kasta rendah (sudra), yaitu orang Kalang yang mungkin merupakan keturunan orang dari kelompok ras pra Malaya-Polynesia yang tinggal dan bekerja di hutan.

Bojonegoro merupakan sebuah tambahan penting bagi kekayaan Belanda di Jawa karena sumber daya kayunya yang melimpah khususnya hutan-hutan jatinya yang luas. Para bupati di wilayah pesisir utara di bawah VOC diwajibkan mengirim jati dalam jumlah yang besar setiap tahun yang dipakai untuk bangunan dan kapal-kapal Belanda. Misalnya tahun 1762 sebanyak 28 bupati di wilayah pesisir utara diwajibkan mengirim 19.800 pikul gelondongan kayu dan 3000 pikul kayu olahan.

Pada masa pemerintahannya, Deandels (1808-1811) mengupayakan agar ekploitasi hutan-hutan Negara dilakukan dengan keseimbangan rasional dan ekonomis. Pertama-tama Deandels menghapus kewajiban feodal bagi para bupati untuk mengirim kayu dalam kuota tertentu. Ia mengalihkan tanggung jawab urusan administrasi dan pengelolaan kehutanan kepada sebuah departemen khusus yang dipimpin seorang inspektur jenderal yang tinggal di Semarang. Departemen baru ini bukan hanya mengontrol perambah hutan tetapi juga mengambil alih tanggung jawab atas buruh blandong dari para bupati. Para buruh ini dibebaskan dari kerja wajib, dan selama bekerja di hutan mereka diberi jatah beras dan garam. Selain itu mereka juga diupah menurut upah yang sudah ditentukan. Undang-undang juga menentukan behawa setelah penebangan jati, benih baru harus disemaikan dan wilayah baru harus dihutankan.

Raffles menyederhanakan kebijakan Deandels hampir keseluruhannya dengan menunjuk seorang pengawas hutan yang kegiatannya dibatasi pada wilayah Rembang yang kaya hutan saja. Di distrik-distrik lain tanggung jawab kehutanan dikembalikan kepada para bupati, sementara buruh blandong tidak lagi menerima upah melainkan menerima pengurangan pajak (sewa tanah).

Dalam literature Belanda, daerah Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah satu daerah termiskin dan terbelakang di Jawa. tanahnya kebanyakan tandus dan hampir tidak ada irigasi atau pekerjaan mitigasi banjir. Diluar lembah-lembah sungai yang subur di distrik Baureno dan Pelem, lahan pertanian Bojonegoro berkualitas buruk dan terdiri atas tanah liat dengan kandungan kapur yang tinggi dan kurang fosfat. Hujan deras menyebabkan tanah ini tergenang sehingga kekuranagan udara dan mengakibatkan pembusukan akar padi. Selama musim kemarau tanahnya segera mengering dan menimbulkan rekahan besar, kadang hingga sedalam lima meter daerah yang subur di dekat Bengawan Solo juga sering menjadi sia-sia terkena banjir selama musim hujan.

Ketergantungan yang hampir mutlak pada kerasnya cuaca ini membuat pertanian di Bojonegoro penuh resiko. Gagal panen dan kelangkaan pangan merupakan hal yang umum di Bojonegoro. Untuk mengurangi kemungkinan kelaparan yang disebabkan gagal panen, petani di wilayah Bojonegoro sejak dulu telah menanam polowijo di lahan kering (tegalan). Mereka menanam tanaman pokok seperti jagung dan tembakau yang dijual di pasar domestik.

Gema kemerdekaan yang berkumandang dengan cepatnya ke seluruh penjuru tanah air adakalanya berjalan dengan lancar menurut gelombang revolusi yang sedang bergolak, tetapi kadangkala terjadi benturan-benturan antara birokrasi dan militer Jepang. Bojonegoro saat kemerdekaan dikumandangkan, 17 Agustus 1945 suasananya tenag seolah tidak terjadi sesuatu. Ini dikarenakan pihak Jepang berhasil menyimpan rapat berita tentang kekalahannya pada sekutu. Sehari setelah kemerdekaan dikumandangkan baru surat-surat kabar memuat berita tersebut dan hal ini membuat gejolak di masyarakat Bojonegoro menunutut kemerdekaan. Mulai hari itu juga banyak dikibarkan bendera merah putih di daerah ini.

Laporan Kegiatan Inventarisasi Cagar Budaya Kab. Bojonegoro