Tugu Yogyakarta merupakan salah satu landmark dari Kota Yogyakarta. Pada mulanya, tugu ini merupakan Tugu Golong Gilig yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, tahun 1755. Disebut Tugu Golong Gilig karena bentuk aslinya yaitu berbentuk silinder (gilig) dengan bagian puncaknya berbentuk bulatan seperti bola (golong).


Tugu Yogyakarta (Dok. BPCB DIY 2021)

Tugu golong gilig secara historis menyimbolkan kesempurnaan keberadaan raja di dalam proses kehidupannya. Hal ini dilandasi sikap manembah kepada Yang Maha Tinggi serta satu tekad dengan rakyatnya. Golong Gilig juga melambangkan bersatunya rakyat-raja dan manusia-Sang Pencipta. Tugu ini berfungsi sebagai tetenger (penanda) kota dan sebagai titik pandang untuk berkonsentrasi ketika Sri Sultan Hamengku Buwana I melakukan meditasi, di Bangsal Manguntur Tangkil yaitu tempat bertakhta raja yang berada di Siti Hinggil Lor, pelataran keraton yang tanahnya ditinggikan.

Keberadaan tugu golong gilig tidak dapat dilepaskan dari penciptaan sumbu filosofis Yogyakarta. Tugu Golong-Gilig merupakan bagian dari titik yang membentuk poros imajiner bersama unsur pembentuk lainnya yakni Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, serta Laut Selatan.

Tugu Golong Gilig berdiri sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I hingga Sultan Hamengku Buwono VI. Tugu Golong Gilig akhirnya runtuh diguncang gempa yang terjadi pada 10 Juni 1867.  Peristiwa itu ditandai dengan Candrasengkala berbunyi, Hargo Molah Dening Sanghyang Naga Bumi. Gempa tersebut telah menyebabkan tugu rusak parah, sehingga memusnahkan bentuk aslinya.


Tugu Golong Gilig

Tugu Yogyakarta

Pada tahun 1889, masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII, tugu dibangun kembali oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, dengan bentuk yang berbeda dari bentuk aslinya. Tugu berbentuk persegi, sedangkan bagian puncaknya berbentuk kerucut spiral yang meruncing, tetapi ujungnya tidak runcing (papak). Tugu juga lebih pendek. Jika sebelumnya tinggi tugu yaitu 25 meter, tinggi tugu yang baru hanya sekitar 10 meter.

Pada setiap sisi tugu terdapat prasasti yang memuat keterangan tentang siapa saja yang terlibat dalam renovasi tugu. Tugu baru yang didirikan Belanda inilah yang kemudian dinamai De Witte Paal atau Tugu Pal Putih dan masih berdiri hingga sekarang di tengah perempatan antara Jalan Marga Utama (dahulu bernama Jalan Pangeran Mangkubumi), Jalan Jenderal Soedirman, Jalan A.M. Sangaji, serta Jalan Pangeran Diponegoro. Masyarakat mengenalnya sebagai salah satu ikon kota Yogyakarta dan sering menyebutnya Tugu Yogyakarta. Tugu Yogyakarta sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM 25/ PW.007/ MKP/2007.