Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai tugas dan fungsi untuk melestarikan cagar budaya melalui kegiatan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Ada berbagai program kegiatan yang dilaksanakan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menjalankan tugas dan fungsinya itu. Salah satunya yakni program internalisasi cagar budaya kepada masyarakat dengan cara menyebarluaskan potensi cagar budaya yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta melalui kegiatan pameran.

      Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta rutin menyelenggarakan pameran cagar budaya dengan tema yang berbeda-beda setiap tahunnya. Pameran cagar budaya kali ini mengusung tema “Menapak Jejak Peradaban Mataram Kuno di Perbukitan Prambanan”. Tema ini memiliki urgensi untuk diekspos kepada publik, karena di daerah perbukitan Prambanan bagian selatan atau yang dikenal sebagai kawasan “Siwa Plateau”, banyak ditemukan tinggalan budaya dari masa klasik (Hindu-Buddha), khususnya Mataram Kuno antara lain berupa candi dan situs permukiman.

Pameran Cagar Budaya dan Potensi Pemberdayaan Masyarakat di Tebing Breksi Prambanan, Sleman yang berlangsung 29 Juni s.d. 2 Juli 2017 dan buka pukul 08.00 – 20.00 WIB

    Substansi diselenggarakannya kegiatan pameran ini adalah sebagai upaya Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, bahwa paradigma pelestarian cagar budaya sekarang berbeda dengan dengan paradigma pelestarian cagar budaya dahulu. Orientasi kebijakan pelestarian Cagar Budaya dahulu bersifat statis dan belum mampu mengakomodasi kepentingan publik.  Sedangkan arah kebijakan pelestarian cagar budaya sekarang bersifat dinamis dan berupaya menjadikan pemangku kepentingan atau stake holder (pemerintah, masyarakat, akademisi, dan swasta) agar dapat berperan penting dalam pelestarian (kemitraan) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Belajar Bijak dari Nilai-Nilai Kearifan Nenek Moyang

      Melalui pameran ini, Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta hendak mengajak masyarakat untuk menapak jejak peradaban Mataram Kuno itu, serta menggali nilai-nilai kearifan nenek moyang yang terkandung di dalamnya. Beragam tinggalan budaya yang ada di kawasan Siwa Plateau, seperti Situs Ratu Boko, Candi Barong, Candi Banyunibo, Candi Dawangsari, dan Candi, Ijo menjadi bukti tentang bagaimana arif dan bijaknya nenek moyang dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia.

       Seperti yang kita ketahui, bahwa kondisi lingkungan di perbukitan Prambanan bagian selatan secara dominan berupa bukit batu putih, tanahnya yang kurang subur, dan minim sumber air. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa di daerah tersebut tidak memiliki daya dukung lingkungan yang cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tantangan alam tersebut, dijawab nenek moyang kita secara arif dan bijak dengan mengelola sumber daya lingkungan yang ada untuk dimanfaatkan sebagai sumber utama dalam membangun peradabannya. Situs Ratu Boko, Candi Barong, Candi Banyunibo, Candi Dawangsari, dan Candi Ijo dibangun oleh nenek moyang kita dengan cara mengolah tebing-tebing batu yang tersedia menjadi  bahan baku utama untuk membangun candi-candi dan permukiman guna memenuhi kebutuhan ruang kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu membuktikan bahwa kreativitas nenek moyang kita mampu hidup dan berkembang di tengah lingkungan yang dilingkupi keterbatasan.

   

     Tinggalan budaya nenek moyang yang tersebar di kawasan Siwa Plateau juga memberikan pelajaran bagi kita tentang bagaimana membina kehidupan yang harmoni dalam keberagaman. Nilai-nilai toleransi nenek moyang ditunjukkan dengan adanya tinggalan budaya berupa situs permukiman dan candi yang memiliki latar belakang keagamaan berbeda-beda, namun letaknya saling berdekatan, antara lain Situs Ratu Boko bercorak Hindu-Buddha, Candi Barong bercorak Hindu, Candi Dawangsari bercorak Buddha, Candi Banyunibo bercorak Buddha, dan Candi Ijo bercorak Hindu. Perbedaan corak agama yang melatarbelakangi karya peradaban nenek moyang tersebut merupakan bukti bahwa realita keberagaman dengan kehidupan yang damai dan harmonis juga menjadi realitas masyarakat pada zamannya.

Menggali Nilai-Nilai Manfaat Tinggalan Budaya untuk Kesejahteraan Masyarakat

       Kreativitas nenek moyang yang mewujud dalam bentuk karya peradaban itu masih hidup dan terus menyala sampai sekarang. Kreativitas mereka mempunyai signifikansi dan terus memancar menembus zaman. Aneka ragam warisan budaya yang ditinggalkan nenek moyang itu kini telah mampu menginspirasi dan menjadi daya kreasi masyarakat masa kini. Oleh  karena itu, karya peradaban masa lalu harus diaktualisasikan menjadi potensi yang berdaya guna.

      Pengembangan potensi masyarakat di sekitar situs dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan cara memanfaatkan warisan budaya nenek moyang untuk melakukan internalisasi, membangun kemitraan, melaksanakan fasilitasi, serta meningkatkan kualitas atau kemampuan masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat. Program tersebut diharapkan mampu menjadi wahana bagi masyarakat untuk menggali potensi yang terkandung di dalam tinggalan budaya nenek moyang untuk kemudian menjadi produk kreativitas yang beragam antara lain atraksi wisata budaya, minat khusus, batik tulis, suvenir, kuliner, dan lain-lain.

     Beragam produk kreativitas masyarakat itulah yang juga menjadi bagian yang akan ditampilkan dalam pameran ini.  Ada tiga kelompok sadar wisata (pokdarwis) binaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta yang berpartisipasi dalam pameran ini, yakni Pokdarwis “Tlatar Seneng” Desa Sambirejo-Prambanan, Pokdarwis “Prabu Boko” Desa Bokoharjo-Prambanan, dan Pokdarwis “Panangkaran” Desa Tirtomartani-Kalasan. Dalam pameran ini ketiga kelompok sadar wisata tersebut menampilkan produk kreativitasnya masing-masing antara lain batik tulis, suvenir, kuliner, dan lain-lain.

      Pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan bijak yang dilakukan nenek moyang dengan mengelola tebing-tebing batu menjadi bahan baku dalam membangun peradabannya, kini telah menginspirasi masyarakat situs, khususnya warga Desa Sambirejo-Prambanan dalam pengelolaan tebing breksi. Semula tebing ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber penambangan batu putih dapat berdampak kerusakan lingkungan. Berangkat dari kekhawatiran akan terancamnya kelestarian lingkungan dan musnahnya keberadaan tebing breksi akibat ditambang secara terus-menerus, maka berbagai pihak terkait atau stake holder (pemerintah pusat-daerah, akademisi, masyarakat, dan swasta) melakukan pengelolaan tebing breksi secara berkelanjutan. Sekarang tebing breksi telah berhasil disulap masyarakat menjadi objek wisata alam menarik yang berdaya tarik tinggi dan mampu menjadi tempat berkreativitas bagi mereka guna meningkatkan kesejahteraannya.

       Aktualisasi kekayaan budaya di Siwa Plateau (Prambanan Plateau) dan kekayaan alam dapat menjadi potensi unggulan yang bermanfaat bagi masyarakat. Kita semua harus aktif dan bijak memanfaatkan potensi itu secara berkelanjutan untuk kesejahteraan bersama. (Ferry A.)

Ayo Kunjungi, Lindungi, dan Lestarikan Cagar Budaya dan Lingkungan Alam Kita

PEMBUKAAN

Tanggal : Kamis, 29 Juni 2017

Waktu   : Pukul 14.00 WIB – selesai

Tempat : Tebing Breksi Prambanan, Sleman, DIY

PAMERAN

Tanggal : 29 Juni – 2 Juli 2017

Waktu   : Pukul 08.00 WIB – 20.00

Tempat : Tebing Breksi Prambanan, Sleman, DIY