Museum Dewantara Kirti Griya (Dok.BPCB DIY)

     Museum Dewantara Kirti Griya beralamat di Jalan Tamansiswa No.25, Wirogunan, Mergangsan, Yogyakarta, yang dahulunya merupakan kediaman Ki Hajar Dewantara. Bangunan bergaya indis (perpaduan arsitektur Eropa dan Jawa) ini dibangun pada tahun 1915, dan telah tercatat dalam buku register Kraton Yogyakarta tanggal 26 Mei 1926 dengan nomor Angka 1383/1.H.

     Bangunan museum ini menghadap ke arah barat (jalan Tamansiswa). Pada bagian depan merupakan bangunan dengan atap berbentuk limasan dan bangunan belakang atapnya berbentuk kampung. Bangunan museum Dewantara Kirti Griya terdiri dari 9 bagian, yaitu ruang tamu, kamar kerja, ruang tengah, kamar tidur keluarga, kamar tidur putri Ki Hadjar Dewantara, kamar tidur Ki Hadjar Dewantara, emperan, kamar mandi/wc, dan dapur.

     Sebelum ditempati Ki Hajar Dewantara, pada awalnya bangunan ini milik Mas Ajeng Ramsinah, seorang janda penguasa perkebunan Belanda. Bangunan kemudian dibeli Tamansiswa atas nama Ki Hadjar Dewantara, Ki Sudarminto, Ki Supratolo pada 14 Agustus 1934 seharga f 3.000,00 (tiga ribu gulden) dengan luas tanah 5.594 m² meliputi persil yang berlokasi di tempat tersebut beserta perabot rumah tangga. Pada 18 Agustus 1951, bangunan tersebut dihibahkan kepada Yayasan Persatuan Tamansiswa.

     Ketika rapat Pamong (Guru) Tamansiswa tahun 1958, Ki Hajar Dewantara mencetuskan gagasan agar rumahnya di kompleks Perguruan Tamansiswa dijadikan museum. Pada waktu yang sama, Ki Hajar Dewantara merumuskan sebuah konsep kebudayaan berbunyi, “Kemajuan suatu kebudayaan adalah merupakan suatu kelanjutan langkah dari kebudayaan itu sendiri (kontinuitas), menuju ke arah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi), dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan sedunia (konsentrisitas)”. Konsep tersebut terkenal dengan sebutan “TRIKON”.

     Setelah Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959, mulai tahun 1960, Tamansiswa berusaha mewujudkan gagasan almarhum Ki Hadjar Dewantara. Pada tahun 1963 dibentuklah panitia pendiri Museum Tamansiswa yang terdiri dari: Keluarga Ki Hadjar Dewantara, Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Sejarawan, dan Keluarga Besar Tamansiswa.

     Pada tanggal 11 Oktober 1969, Ki Nayono menerima surat pribadi dari Nyi Hadjar Dewantara. Dengan surat tersebut Ki Nayono tergugah untuk segera meminta perhatian kepada Majelis Luhur agar bekas tempat tinggal Ki Hadjar yang sudah dinyatakan sebagai Dewantara Memorial segera dijadikan museum.

     Cita-cita Ki Hajar Dewantara untuk menjadikan rumahnya sebagai museum akhirnya terwujud pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 1970. Museum diresmikan dengan nama “Dewantara Kirti Griya” artinya rumah yang berisi hasil kerja Ki Hajar Dewantara. Nama tersebut pemberian Hadiwidjono, seorang ahli bahasa Jawa.

     Peresmian museum dilakukan oleh Nyi Hajar Dewantara, Pemimpin Umum Persatuan Tamansiswa. Peresmian ditandai dengan sengkalan berbunyi ”miyat ngaluhur trusing budi” yang menunjukkan angka 1902 Saka atau 2 Mei 1970. Sengkalan tersebut mengandung makna bahwa para pengunjung diharapkan dapat mempelajari, memahami, dan kemudian mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya ke dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara.

     Di museum inilah awal lahirnya Badan Musyawarah Musea (Barahmus) Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1971 yang dipimpin Mayor Supandi sebagai ketua I dan pada bulan Mei 2007, kantor Barahmus dipindah ke Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

     Museum Dewantara Kirti Griya ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 243/M/2015.

Koleksi Museum Dewantara Kirti Griya

     Museum Dewantara Kirti Griya menyimpan benda-benda peninggalan Ki Hajar Dewantara semasa hidupnya. Benda-benda tersebut kini menjadi koleksi berharga yang menjadi sumber belajar bagi generasi bangsa, antara lain:

1. Surat-surat Ki Hajar Dewantara

     Surat-surat penting saksi perjuangan Ki Hajar Dewantara yang dikoleksi museum ini yaikni 1) Surat penangkapan “Tiga Serangkai” (Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal dengan Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1931; 2) Surat penangkapan Raden Mas Suwardi Suryaningrat di Semarang pada 1920, dan Wilde School Ordonantie 1932. Selain kedua surat tersebut, ada sebanyak 879 pucuk surat lainnya yang menjadi koleksi museum.

Ruang koleksi. (Dok. BPCB DIY)

2. Perlengkapan Rumah Tangga

     Perlengkapan rumah tangga koleksi museum antara lain tempat tidur, meja tulis, meja kursi tamu, pesawat telepon buatan Kellog 1927 Swedia, lemari buku, radio, dan lemari pakaian. Semua perlengkapan tersebut sudah ada sebelum Ki Hajar Dewantara menempati rumahnya (sekarang menjadi museum Dewantara Kirti Griya).

Ruang tamu. (Dok. BPCB DIY)
Kamar tidur Ki Hajar Dewantara. (Dok. BPCB DIY)

3. Foto dan Film

Museum menyimpan foto-foto dan film. Di antaranya satu film berjudul “Ki Hajar Dewantara, Pahlawan Nasional” yang diproduksi oleh Perum PFN pada 1960.

4. Buku

Ada 2.341 judul buku yang menjadi koleksi museum. Buku-buku tersebut bertema ketamansiswaan, politik, kebudayaan, dan pendidikan. Selain itu di perpustakaan museum juga terdapat koleksi buku bertema Sastra Daerah Jawa (3560 judul), Melayu (432 judul), dan Bahasa Belanda (3789 judul).