Sumber: Dok. BPCB DIY Tahun 2021

Keberadaan Istana Kepresidenan Yogyakarta atau yang dikenal dengan sebutan Gedung Agung, berkaitan erat dengan sejarah pendirian gedung keresidenan yang dibangun oleh Belanda. Setelah perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi mendirikan Keraton Ngayogyakarta yang jadi cikal bakal kota Yogyakarta. Untuk mengawasi Kasultanan Yogyakarta, Belanda mendirikan benteng dan mengangkat residen. Untuk kepentingan itu, maka Belanda membangun Benteng Rustenburg dan gedung keresidenan.

Saat residen ke-17, Antonie Hendrik Smissaert menjabat Residen Yogyakarta (1823-1825), ia mengusulkan perbaikan gedung keresidenan. Dari surat Residen A.H. Smissaert, nomor 6 tanggal 2 Mei 1823 untuk sekretaris negeri gubernur jenderal Hindia Belanda diketahui bahwa bangunan yang berada di sebuah pekarangan luas yang disebut “loji kebon” (Tuin Logie) terletak di sisi barat Benteng Vredeburg merupakan sebuah bangunan tua yang didirikan sejak 1722. Bangunan ini rusak parah, sehingga harus diperbaiki dengan dibangun kembali.

Usulan A.H. Smissaert disetujui Gubernur Jenderal G.A.G.P.B van der Capelen dengan mengutus A. Payen untuk melaksanakan perbaikan gedung, sekaligus menjadi arsiteknya. Perbaikan dimulai tahun 1824. Perbaikan gedung sempat terhenti karena meletus Perang Diponegoro (1825-1830). Perbaikan gedung keresidenan dilanjutkan lagi seusai perang Diponegoro, yaitu pada masa Residen Frans Gerardus Valk. Perbaikan gedung rampung tahun 1832, menghabiskan biaya f 70.000.

Pada tanggal 10 Juni 1867, gempa bumi tektonik mengguncang Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Gempa bumi menyebabkan gedung residen ini rusak berat. Maka pada tahun 1869 oleh Residen A.J.P. Hubert Desire Bosch dilakukan rehabilitasi terhadap bangunan kantor residen ini. Pemerintah Belanda menggelontorkan dana f. 125.000 untuk memperbaikinya. Perbaikan gedung selesai pada 1869 dan gedung inilah yang sekarang menjadi Istana Kepresidenan Yogyakarta.


Sumber: Residentswoning te Jogjakarta met in de tuin diverse Hindoe-Javaanse en Boeddhistische beelden 1895

Keberadaan Kantor Residen mengalami peningkatan status menjadi gubernuran pada 19 Desember 1927 setelah Yogyakarta ditetapkan menjadi setingkat provinsi. Adanya perubahan status berpengaruh pada banyaknya peristiwa penting kenegaraan yang dilakukan di bangunan ini. Peristiwa kenegaraan saling kunjung antara Gubernur dengan Sri Sultan yang bertakhta dilakukan setiap tahun.

Gubernur Belanda melaksanakan kunjungan ke keraton setiap adanya upacara pisowanan garebeg. Sri Sultan mengadakan acara tedhak loji atau kunjungan balasan ke kantor gubernur pada setiap perayaan ulang tahun Ratu Belanda. Momentum sangat penting adalah adanya perundingan “kontrak politik” antara Pemerintah Hindia Belanda dengan calon sultan yang akan bertakhta. Hal itu dilaksanakan setiap menjelang adanya penobatan atau naik takhta sultan di Keraton Yogyakarta. Perundingan “kontrak politik” yang memakan waktu paling lama adalah antara GRM. Dorojatun (kelak menjadi HB IX) dengan Gubernur Belanda Lucien Adam pada tahun 1940.

Pada masa pemerintahan Jepang tanggal 5 Maret 1942 sampai dengan 1945, gedung ini digunakan untuk kediaman Koochi Zimmukyoku Tyookan. Sri Sultan Hamengku Buwana IX dan Paku Alam VIII pernah mengadakan kunjungan persahabatan kepada pejabat Jepang tersebut. Peristiwa penting dan menegangkan yang pernah terjadi serta menjadi catatan penting adalah peristiwa penurunan bendera Hinomaru Jepang dari Gedung Tyookan atau Cokan Kantai (sekarang: Gedung Agung) pada 21 September 1945. Insiden itu merupakan upaya penggantian bendera Hinomaru Jepang untuk diganti dengan bendera Republik Indonesia Merah Putih. Upaya berbagai elemen bangsa, di antaranya kelompok pemuda, BPU (Barisan Penolong Umum), Polisi Istimewa, dan BKR melakukan penurunan bendera dengan penuh perjuangan di bawah ancaman senjata Jepang.

Pada awal kemerdekaan yaitu pada tanggal 29 Oktober 1945 bangunan ini digunakan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia (KNI). Pada saat ibu kota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946, maka gedung ini berfungsi sebagai Istana Negara. Presiden Sukarno menggunakan Gedung Agung untuk kantor sekaligus rumah kediaman keluarga, sehingga salah satu putrinya Megawati Sukarno Putri juga terlahir di istana ini. Momentum peristiwa penting bagi bangsa Indonesia pada saat masa revolusi mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di gedung ini adalah sebagai berikut.

  1. Penurunan bendera Hinomaru (Jepang), dan diganti dengan bendera merah putih Indonesia oleh para pejuang pada 21 September 1945.
  2. Pelantikan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar TNI pada 3 Juni 1947 dan Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia pada 3 Juli 1947.
  3. Momentum dramatis penangkapan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dan akhirnya diasingkan ke Bangka tanggal 19 Desember 1949.
  4. Penyambutan kedatangan para pemimpin Indonesia yaitu Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dari pengasingan oleh delegasi UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) pada 6 Juli 1949.
  5. Momentum berakhirnya eksistensi ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta sampai dengan tanggal 28 Desember 1949, Presiden Sukarno memberikan kesan-kesannya sebagai berikut, “Djogjakarta mendjadi termasjhur oleh karena djiwa kemerdekaannja. Hiduplah terus djiwa kemerdekaan itu!”.  Pada tanggal 29 Desember 1949 Pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Jakarta.

Istana Kepresidenan Yogyakarta mendapat sebutan “Gedung Agung” sejak tahun 1950, karena membuktikan keagungan cita-cita dan sumber semangat perjuangan nasional dalam melawan penjajahan.

Gedung Agung bergaya arsitektur Barat bergaya “Doria” tidak murni. Ciri utamanya yakni memiliki tiang-tiang berukuran besar. Tiang bergaya Doria yang besar dan kokoh, hiasannya sederhana memberi kesan berwibawa. Cocok untuk bangunan milik penguasa. Atapnya berbentuk pelana membujur ke belakang sejumlah tiga deret. Atap serambinya ditopang tiang-tiang besi bergaya Korintia berjumlah sepuluh. Tiang gaya Korintia terkesan ringan, ramping nan mewah. Gaya Korintia menyimbolkan kekayaan, kemewahan dan keagungan.

Pada ruang utama Gedung Agung Yogyakarta terdapat beberapa ruang. Ruangan-ruangan tersebut diberi nama khusus, seperti Ruang Garuda, Ruang Soedirman dan Ruang Diponegoro. Selain ketiga ruangan tersebut, di ruang utama terdapat kamar-kamar yang berjumlah empat kamar, tempat presiden dan wakil presiden beserta keluarga biasa menginap.

Ruang Garuda merupakan sebuah ruangan besar sebagai ruang resmi untuk menerima tamu, terletak tepat di tengah-tengah gedung utama. Di sinilah tempat presiden menerima tamu negara, mengadakan pertemuan dan pembicaraan resmi dengan kepala-kepala negara atau pemerintahan yang pada saat itu menjadi tamu presiden.

Tepat di sebelah kanan bagian depan gedung utama merupakan ruangan Soedirman serta di sebelah kiri bagian depan merupakan ruangan Diponegoro. Ruangan Soedirman terletak di sebelah kanan bagian depan Gedung Induk. Ruangan ini memiliki tiga pintu menghadap ke teras istana. Ruangan ini bersebelahan dengan area Ruang Presiden Republik Indonesia, bersambung dengan lorong yang menuju Ruang Makan VIP. Ruangan ini dibuat untuk mengenang perjuangan Panglima Besar Soedirman dalam memimpin gerilya melawan Belanda. Di ruangan inilah dulu Panglima Besar Soedirman mohon diri kepada Presiden Soekarno, untuk meninggalkan kota dalam rangka memimpin perang gerilya melawan Belanda.

Pada bagian kiri gedung utama terdapat ruangan yang diberi nama Ruang Diponegoro, untuk mengenang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Dalam ruangan ini tampak pula lukisan / foto beliau sedang berkuda. Dari Ruang Garuda ke arah belakang terdapat ruangan besar yang lain, yaitu Ruangan Jamuan Makan, tempat jamuan makan bagi tamu negara atau tamu agung yang lain. Di belakang Ruangan Jamuan Makan terdapat ruangan luas, yang berfungsi sebagai Ruangan Pertunjukan Kesenian. Bangunan lain adalah Wisma Negara, wisma ini dibangun pada tahun 1980. Wisma ini dimaksudkan untuk para menteri dan rombongan tamu negara.

Selain Wisma Negara, terdapat Wisma Indraphrasta. Wisma ini merupakan wujud bangunan asli kantor Asisten Residen Belanda, penggagas bangunan yang kini menjadi istana ini (Gedung Agung). Di kiri dan kanan belakang bangunan utama, di dekat Ruang Kesenian, adalah Wisma Sawojajar dan Wisma Bumiretawu. Wisma Sawojajar, di sebelah utara, disediakan bagi petugas atau rombongan staf Presiden atau tamu negara, sedangkan Wisma Bumiretawu disediakan bagi ajudan serta dokter pribadi Presiden atau ajudan dan dokter pribadi tamu negara. Wisma Saptapratala terletak di sebelah selatan, berseberangan dengan Wisma Bumiretawu. Wisma ini disediakan bagi petugas-petugas dan para anggota rombongan presiden atau tamu negara.

Kompleks Gedung Agung telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui PM.89/PW.007/MKP/2011, dan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat Nasional melalui Keputusan Mendikbudristek Nomor 53/M/2023. Kompleks Gedung Agung terletak di Jalan Ahmad Yani No. 3, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta.