Sumber: Dok. BPCB DIY Tahun 2021

Hotel Grand Inna Malioboro berada di Jalan Malioboro No.60, Yogyakarta. Hotel ini dahulu bernama Grand Hotel de Djokja. Dalam majalah De Indische Mercuur tanggal 17 Oktober 1911 menyebutkan, pembangunan hotel ini dimulai pada hari Minggu pagi, 10 September 1911. Grand Hotel de Djokja   dimiliki oleh sebuah Naamlooze Vennootschap (Perusahaan Umum) Grand Hotel de Djokja dengan direktur J.Jansen.

Surat kabar De Express 18 September 1912 menyebutkan hotel ini memiliki fasilitas yang cukup mewah pada masa itu. Terdiri dari bangunan utama, bangunan samping kanan dan kiri berupa 5 paviliun. Gaya bangunannya sama dengan Oranje Hotel Surabaya. Gedung utama dari hotel ini dirancang oleh arsitek Harmsen dan Pagge.

Berdasarkan sumber berita, foto, dan juga tren bangunan kolonial yang dibangun pada periode ini (1890-1915) bangunan Grand Hotel de Djokja memiliki karakteristik bangunan kolonial masa peralihan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah ciri khusus yang nampak pada bentuk denah, material yang digunakan, bentuk atap pelana dan perisai, bentuk gable/ gevel yang mencolok, kolom yang melekat pada dinding serta terdapat tower pada bagian depan bangunan.

Pembukaan hotel ini sebagai penginapan dilaksanakan pada Minggu. 15 September 1912. Pengumumannya kepada masyarakat kala itu disampaikan di harian De Express pada 23 September 1912. Sejumlah harian juga memberitakan pembukaan Grand Hotel de Djokja dengan fasilitas yang cukup mewah pada masa itu.

Pada tahun 1929, dilakukan renovasi pada hotel ini. Surat kabar Algemeen Handelsblad voor Ned-Indie 10 April 1929 menyebutkan, bahwa pihak Grand Hotel akan melakukan sejumlah perbaikan pada paviliun-paviliunnya. Perbaikan tersebut direncanakan dilakukan pada Juni 1929. Bangunan paviliun akan diganti dengan bangunan bertingkat.

Harian Het Nieuws van den Dag Voor Ned-Indie 27 Juni 1930 menyebutkan bahwa bangunan sayap kanan sudah selesai direnovasi menjadi bangunan bertingkat. Pekerjaan renovasi akan dilanjutkan untuk bangunan pada sayap kiri. Seluruh pengerjaannya ditangani biro Sitzen & Louzada. Gedung baru ini direncanakan siap pada akhir September 1930.


Sumber: KITLV 1402674

Sumber: KITLV 104696, 1920

Setelah renovasi, gaya bangunan Grand Hotel de Djokja mengalami perubahan. Ciri khas bangunan pada masa ini (1915-1940) menunjukkan gaya arsitektur modern yang lugas, didominasi pada bentuk ruang yang kaku, warna dominan putih, volume bangunan berbentuk kubus, dan banyaknya komponen penghawaan.

Pada bangunan utama menghilangkan kedua tower pada bagian depan bangunan, mengganti ornamen balustrade dan tympanum dengan lubang penghawaan berupa roster dan jendela berbentuk persegi panjang yang berjajar. Bagian atap telah berubah menjadi atap perisai dan gevel sudah tidak nampak lagi. Pada pintu utama terdapat kanopi berbentuk bulat.

Pada bangunan paviliun-paviliun dirombak total dengan mengubahnya menjadi bangunan bertingkat. Berdasarkan data foto, nampak bangunan di sayap utara dan selatan berdenah simetris, bangunan terdiri dari kamar-kamar berdenah persegi yang memiliki teras terbuka dengan lubang penghawaan yang luas. Terdapat juga penghalang sinar matahai berupa tritisan datar di lantai atas dan bawah. Bangunan baru memiliki dormer/cerobong asap semu, berfungsi untuk penghawaan dan pencahayaan.

     Grand Hotel de Djokja  menjadi salah satu hotel favorit yang banyak disinggahi para pelancong. Nama hotel ini dicantumkan pada buku atau panduan perjalanan ke Yogyakarta. Salah satunya adalah buku Van Stockum’s traveller handbook for Dutch East Indies (1930).

Tahun 1942, saat Jepang berkuasa di Hindia Belanda, Grand Hotel de Djokja berganti nama menjadi Hotel Asahi (Matahari Terbit). Hotel ini menjadi lokasi dari penerbitan koran Sinar Matahari. Kepemilikan hotel ini berada di bawah C.V Marba.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, pengelolaan hotel Kembali ke pihak Indonesia.  Pada November 1946 pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan Pusat Hotel Negara (BHPN). BHPN berubah menjadi Badan Hotel Negara dan Tourisme (HONET) pada 1 Juli 1947. HONET bertugas meneruskan pengelolaan hotel-hotel di Indonesia. Di bawah pengelolaan HONET semua hotel di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokerto berganti nama menjadi Hotel Merdeka. Pergantian nama ini juga berlaku pada Grand Hotel de Djokja.

Sejak Desember 1950 Hotel Merdeka berganti menjadi Hotel Garuda. Pergantian nama ini diumumkan oleh pengelola (N.V. Grand Hotel de Djokja) di media massa, yaitu harian Algemeen Indisch dagblad de Preangerbode tanggal 13 Januari 1951.

Pada 1975 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1975, Hotel Garuda menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pengelolaannya yang bekerja sama dengan PT Natour, sehingga berganti nama menjadi Natour Garuda.

Pergantian pengelola ini diikuti dengan renovasi hotel dan peningkatan level dari hotel berbintang satu menjadi hotel berbintang empat. Renovasi dimulai tahun 1982 dan selesai pada akhir tahun 1984. Proses renovasi dilakukan dengan tetap mempertahankan bentuk bangunan sayap utara dan sayap selatan.

Pembukaan Hotel kembali dilakukan pada 29 Juni 1985, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1987 secara resmi Natour Garuda dikukuhkan oleh pemerintah melalui Depparpostel sebagai Hotel berkategori bintang empat.

Bersamaan dengan berkembangnya kepariwisataan yang semakin pesat di Indonesia pada umumnya dan di kota Yogyakarta khususnya, PT. NATOUR melaksanakan perluasan untuk “Natour Garuda” dengan menambah jumlah kamar menjadi 240 kamar. Perluasan “Natour Garuda” ini diresmikan pada tanggal 29 Juni 1991 oleh Sri Paduka Paku Alam VIII – Gubernur DIY saat itu[1].

Pada perkembangan selanjutnya, PT. NATOUR bergabung dengan PT. Hotel Indonesia Internasional sehingga menjadi PT. HOTEL INDONESIA NATOUR. Penggabungan ini diikuti dengan penggunaan nama komersial INNA. Mulai saat itu seluruh hotel-hotel dan katering di bawah naungan Inna Group menggunakan INNA sebagai nama pengikat (united name). Pada 15 Maret 2017, nama Inna Garuda kembali diubah menjadi Grand Inna Malioboro. Nama ini digunakan hingga saat ini. Bangunan Hotel Grand Inna Malioboro telah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan Per.Men Budpar RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011.

 

Peristiwa penting di Grand Hotel de Djokja

     Grand Hotel de Djokja yang telah berdiri sejak tahun 1911, menjadi saksi dan lokasi dari sejumlah peristiwa penting. Peristiwa penting yang pernah terjadi di hotel ini adalah:

  1. Pendirian ABHINI (Algemeene Bond Hotelhuders in Nederlandsch-Indie) pada tahun 1925. ABHINI adalah perhimpunan pemilik, pengelola, pengurus hotel dan restoran, para direktur atau komisaris perusahaan hotel.
  2. Charlie Chaplin (seorang pelawak, sutradara film, dan komposer dari Inggris yang terkenal pada era film bisu) menginap di hotel ini pada tahun 1932, sebagai bagian kunjungannya ke sejumlah kota di Hindia Belanda pada masa itu.
  3. Sejak Desember 1945 sampai dengan Maret 1946, Kamar 911 sempat digunakan sebagai kantor Markas Besar Oemoem (MBO) Tentara Keamaan Rakyat Pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
  4. Ketika ibu kota Republik Indonesia dipindah ke Yogyakarta tahun 1946, hotel ini menjadi kompleks kantor untuk kabinet pemerintahan.
  5. Pada saat Serangan Umum 1 Maret 1949, Hotel Merdeka menjadi salah satu sasaran penyerbuan oleh Sub Wehrkreise (SWK) 103, karena di hotel ini menjadi tempat menginap perwira-perwira tentara Belanda.
  6. Momentum penting pengamatan peristiwa Jogja Kembali yaitu keberangkatan Tentara NICA ke Jakarta pada 6 Juni 1949 melalui stasiun Tugu, oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) terjadi di lingkungan hotel tersebut.

Hotel Grand Inna Malioboro ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.89/PW.007/MKP/2011, dan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat Nasional melalui Keputusan Mendikbudristek Nomor 52/M/2023.

[1] Sepeninggal Sri Sultan Hamengku Buwono IX meninggal dunia pada 3 Oktober 1988, Sri Paduka Paku Alam VIII dipilih menjadi gubernur DIY yang kedua. Baru pada tahun 1998, Sri Sultan Hamengku Buwono X dilantik menjadi Gubernur DIY untuk lima tahun selanjutnya.