Situasi Hotel Grand Hotel de Djokja terekam dalam kartu pos tanpa tahun (Foto: Dok. BPCB DIY 2021)

Ik wil geen kwaad spreken van de Indische hotels. Integendeel. Het Grand Hotel te Djocja b. v. kan met de beste hotels in Europa wedijveren (Saya tidak ingin berbicara buruk tentang hotel (di) Hindia Belanda. Sebaliknya. Grand Hotel di Djocja b. v. dapat bersaing dengan hotel-hotel terbaik di Eropa )

Louis B.M.Lammers, De Java Post, 24 Oktober 1913

.

.

     Kehadiran hotel di Jawa umumnya diawali dengan penginapan kota. Penginapan kota biasa dijumpai di Pelabuhan. Sementara di Yogyakarta, yang termasuk daerah pedalaman, keberadaan hotel bisa jadi memiliki latar belakang yang berbeda.

     Keberadaan hotel di Yogyakarta bisa dihubungkan dengan ramainya pariwisata pada masa itu. Yogyakarta pada masa Hindia Belanda merupakan salah satu kota yang besar. Buku Van Stockum’s traveler handbook for Dutch East Indies (1930)  menyebutkan jika kota Yogyakarta merupakan kota keenam terbesar di Jawa pada masa itu.

     Kota Yogyakarta juga merupakan salah satu destinasi wisata bagi sejumlah wisatawan. Dan peran tersebut telah dijalani sejak awal abad-20. Maka mulailah bermunculan sejumlah hotel. Reisgids voor Jogjakarta en Omstreken (1909) karya Groneman, menyebutkan beberapa hotel dalam peta Yogyakarta yaitu Hotel Centrum, Hotel Tugu dan Hotel Mataram.  Ketiga hotel tersebut berada di kawasan yang dikenal sebagai Maliboro.

     Pada perkembangan selanjutnya Hotel Centrum, yang berlokasi di sebelah selatan Rumah Residen (sekarang Gedung Agung) berubah menjadi Kantor perusahaan NILLMIJ, sebuah perusahaan asuransi Jiwa. Sementara Hotel Tugu dan Hotel Mataram masih terus berlanjut fungsinya.

Grand Hotel de Djokja (1911-1942)

     Tahun 1911, sebuah hotel baru dibangun di Yogyakarta. Sebuah hotel yang kelak diklaim menjadi hotel yang paling mewah. Pada tanggal 10 September 1911, peletakan batu pertama untuk pembangunan hotel ini dimulai. Kala itu pengelola berharap pembangunan hotel akan selesai pada 1 Juli 1912. Majalah De Indische Mercuur tanggal 17 Oktober 1911 menyebut jika Hotel ini bernama Grand Hotel de Djokja.

     Grand Hotel de Djokja, memiliki fasilitas yang cukup mewah pada masa itu. Surat kabar De Express 18 September 1912 menerbitkan liputan khusus terkait pembukaan hotel dan fasilitas yang disediakan hotel tersebut.  Pembukaan hotel dilakukan dengan sebuah makan malam yang istimewa. Makan malam ini berlangsung selama dua malam. Makam malam pertama mengundang kelompok upper ten di Yogyakarta. Kemudian pada hari berikutnya, masyarakat umum diberi kesempatan untuk hadir di acara makam malam dengan harga terjangkau.

     Bangunan utama dari hotel ini dirancang oleh arsitek Harmsen dan Pagge. Sementara bangunan samping atau sayap, terdiri dari lima paviliun, yang masing -masing dilengkapi dengan beranda depan, kamar duduk dan tidur. Seluruh bangunan dan semua kamar sudah dilengkapi dengan lampu listrik dan instalasi bel.

     Hotel ini juga dilengkapi dengan garasi, yang berukuran besar. Ini membuat pengunjung yang memiliki mobil bisa memarkirnya dengan aman.

     Gaya bangunan hotel adalah bangunan kolonial tipe masa peralihan. Berdasarkan sumber berita dan foto, tipe ini nampak pada bentuk atap, bentuk gevel yang mencolok, kolom yang melekat pada dinding. Ciri lainnya adalah terdapat tower pada bagian depan bangunan.

     Grand Hotel de Djokja kemudian menjelma menjadi sebuah hotel yang cukup dikenal pada masanya. Sejumlah kegiatan digelar di Hotel tersebut. Pada tahun 1925, Grand Hotel de Djokja menjadi lokasi pembentukan ABHINI (Algemeene Bond Hotelhuders in Nederlandsch-Indie). ABHINI menurut Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942), adalah sebuah perhimpunan dari para pemilik, pengelola, pengurus hotel dan restoran, dan para direktur atau komisaris perusahaan hotel. Pembentukan ABHINI sendiri bertujuan meningkatkan peran industri perhotelan dalam pariwisata pada masa itu.

     Peningkatan jumlah kunjungan membuat pengelola Grand Hotel memutuskan melakukan renovasi. Renovasi ini bertujuan untuk meningkatkan daya tampung hotel. Renovasi dilakukan pada tahun 1929. Surat kabar Algemeen Handelsblad voor Ned-Indie 10 April 1929 menyebutkan bahwa pihak Grand Hotel akan melakukan sejumlah perbaikan pada paviliun-paviliunnya. Perbaikan tersebut direncanakan dilakukan pada bulan Juni 1929. Bangunan paviliun akan diganti dengan bangunan bertingkat.

     Pada 27 Juni 1930, harian Het Nieuws van den Dag Voor Ned-Indie menyebutkan bahwa bangunan sayap kanan sudah selesai direnovasi menjadi bangunan bertingkat. Pekerjaan renovasi akan dilanjutkan untuk bangunan pada sayap kiri. Seluruh pengerjaan renovasi ditangani biro Sitzen & Louzada. Gedung baru ini direncanakan siap pada akhir September 1930.

     Renovasi ini sekaligus merubah gaya bangunan hotel ini. Jika di awal pembangunannya, bangunan memiliki karakteristik bangunan kolonial masa peralihan. Maka setelah renovasi, karakteristik bangunannya menjadi bangunan kolonial modern.

     Peningkatan daya tampung hotel, membawa Grand Hotel de Djokja semakin dikenal publik. Nama hotel ini dicantumkan pada  buku atau panduan perjalanan ke Hindia Belanda masa itu. Buku Van Stockum’s traveller handbook for Dutch East Indies (1930). Dalam buku tersebut, disebutkan di Yogyakarta saat itu terdapat 3 hotel yaitu:

  1. Grand Hotel de Djokja yang menyediakan 60 kamar
  2. Hotel Tugu menyediakan 35 kamar
  3. Hotel Mataram menyediakan 30 kamar

     Keterangan ini menunjukkan jika Grand Hotel de Djokja merupakan hotel terbesar yang ada pada masa itu serta layak untuk menjadi rujukan bagi wisatawan asing.

     Salah satu tamu yang pernah menginap di hotel ini adalah Charlie Chaplin, seorang pelawak, sutradara film, dan komposer dari Inggris yang terkenal pada era film bisu. Chaplin berkunjung ke Hindia Belanda pada tahun 1932. Salah satu kota yang dikunjunginya adalah Yogyakarta. Surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie dan Soerabaijasch Handelsblad pada 1 April 1932 menyebutkan jika Charlie Chaplin datang ke Yogyakarta menggunakan moda transportasi kereta api. Kehadirannya saat itu bersama saudaranya Sydney Chaplin dan seorang pembantunya.   Selama di Yogyakarta, Chaplin sempat bepergian ke Candi Borobudur dan bertemu dengan Gubernur  Yogyakarta.

      Grand Hotel de Djokja merupakan hotel yang kerap digunakan untuk sejumlah acara yang bertujuan menarik wisatawan. Salah satunya adalah kerja sama dengan Djokdja Vooruit. Sunjayadi menyebutkan jika  Djokdja Vooruit merupakan sebuah perhimpunan yang diharapkan dapat memajukan pariwisata Yogyakarta masa itu. Perhimpunan ini  membuat rencana perjalanan untuk objek-objek wisata dan membuat reklame untuk menarik minat para wisatawan. Perhimpunan ini diresmikan pada 26 April 1936.

     Djokdja Vooruit sering mengadakan acara yang melibatkan Grand Hotel de Djokja. Juni 1937, perhimpunan ini merayakan pesta peresmian kedai teh di Gunung Piyungan, Patuk. Acara ini banyak dihadiri orang penting Yogyakarta seperti Gubernur Bijleveld, Abbenhuis, Pangeran Purboyo, Pangeran Pakuningrat yang mewakili Sultan Yogyakarta, para bupati, wedana dan orang terkemuka lainnya beserta istri. Malamnya, mereka kembali ke Yogyakarta disambut pawai obor dari Societet menuju Grand Hotel Yogyakarta. Acara ditutup dengan makan malam dan dansa di Grand Hotel.

     Acara selanjutnya yang digelar di hotel ini adalah Tweede Java Wegwijzerrit.  Ini adalah semacam reli mobil dan sepeda motor. Acara ini digelar Djokdja Vooruit dengan dukungan JMC (Java Motor Club) pada Oktober 1937. Harian Bataviaasch Nieuwsblad 11 Oktober 1937 menyebutkan bahwa acara ini diikuti oleh 27 peserta dengan mengambil start di depan Grand Hotel de Djokja menuju arah Gunung Kidul.

     Meletusnya perang Dunia II pada tahun 1939 membuat kegiatan pariwisata di Hindia Belanda mulai terganggu. Wisatawan dari sejumlah negara tertentu di Eropa tidak lagi berkunjung ke Hindia Belanda. Kegiatan pariwisata sifatnya terbatas seiring dengan kehadiran Jepang di Hindia Belanda pada Maret 1942. Sunjayadi menyebutkan jika sebelumnya para pelaku kegiatan pariwisata adalah orang Belanda, pribumi, Tionghoa, dan orang asing, maka para pelaku kegiatan pariwisata periode ini adalah bala tentara Jepang serta segelintir masyarakat pribumi di Hindia-Belanda.

Posisi Grand Hotel de Djokja( No.57) dan Hotel Mataram (No.58) (Diolah dari Jogjakarta en Omstreken 1925) (Foto: Dok. BPCB DIY 2021)

Epilog

Situasi Hotel Grand Inna Malioboro saat ini (Foto: Dok. BPCB DIY 2021)

     Setelah proklamasi kemerdekaan, Grand Hotel de Djokja bukan sekedar sekadar berperan sebagai penginapan. Hotel ini juga berperan sebagai markas militer sementara. Grand Hotel juga mengalami sejumlah pergantian nama. Saat ini dikenal dengan nama Grand Inna Malioboro.

     Sejumlah renovasi dilakukan untuk perluasan hotel ini. Salah satu tahap renovasi  perluasan kapasitas hotel adalah dengan menggabungkan bangunan yang berada di sebelah selatannya, yaitu bangunan bekas markas Polisi Wilayah Yogyakarta.  Bangunan bekas markas Polisi Wilayah Yogyakarta diduga adalah bekas bangunan hotel Mataram. Hotel ini merupakan salah satu hotel yang cukup populer di masa Hindia Belanda. Dan berdasarkan peta Jogjakarta en omstreken tahun 1925, letak hotel ini tepat berada di sebelah selatan dari Grand Hotel de Djokja.

.

Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.

Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum

di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta