Judul

Edisi

Penerbit              

Unduh

Catatan Redaksi

: Buletin Narasimha

: No. 04/IIV/2011

: Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta

: bit.ly/narasimha2011

: Belajar dari Autentisitas dan Kearifan Lokal Warisan Budaya Bangsa

    Terdapat tiga aspek tentang kebudayaan menurut Koentjaraningrat, pertama, adalah ide, gagasan, dan sistem nilai. Kedua, terkait aspek pola perilaku, adat istiadat, dan tradisi. Ketiga, adalah hasil karya manusia atau yang terkait dengan kehidupan manusia. Aspek yang terakhir atau bagian tiga adalah bersifat bendawi (tangible) berupa artefak, ekofak, dan satuan ruangnya. Hal itulah yang menjadi wilayah atau materi, pokok kajian, dan garapan dari bidang arkeologi serta ilmuilmu terkait. Secara yuridis hal itu menjadi kewenangan pengaturan Undang-undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

      Eksistensi sebuah cagar budaya atau warisan budaya terletak dari arti khusus dan nilai penting. Dalam Pasal 1 (1) UU No. 11 tahun 2010 disebutkan bahwa:

“Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.

      Aspek pelestarian merupakan langkah penting dalam rangka menjaga eksistensi cagar budaya tersebut. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelaksanaan pelestarian tersebut dilakukan secara berkelanjutan dan mempertimbangkan azas keseimbangan yang mengedepankan sikap bijak dan arif.

      Di dalam Burra Charter (1981), disebutkan bahwa pelestarian adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural atau signifikansi yang dikandungnya dapat terpelihara dengan baik. Perlindungan dalam rangka pelestarian warisan budaya menjadi isu penting, karena warisan budaya memiliki berbagai keterbatasan. Keterbatasan tersebut dalam hal jumlah (finite), tak terbarukan (nonrenewable), tak mudah atau tak dapat dipindahkan, mudah menjadi rapuh (vulnerable atau fragile). Oleh karena itu, langkah perlindungan dilakukan sebagai upaya mencegah, menanggulangi dari kerusakan, kehancuran atau kemusnahan. Terdapat beberapa cara penanggulangan permasalahan tersebut. Salah satu penanganan yaitu dengan melakukan pemugaran.

       Sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku, pemugaran adalah langkah pengembalian kondisi fisik benda cagar budaya, bangunan cagar Budaya, dan struktur cagar budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan (original material), desain (original design), tata letak (original setting), dan/atau teknik pengerjaan (original workmanship). Empat prinsip tersebut pada dasarnya merupakan penghargaan terhadap hal-hal yang autentik sebuah warisan budaya, yaitu dalam arti “asli”, “benar”, “tidak diubah-ubah”, dan dapat dipercaya “sebagaimana kondisi awal”. Pada dasarnya autentik adalah sebagai kata kunci untuk mempertahankan nilai penting atau signifikansi, arti khusus, spirit, dan kandungan bobot informasi warisan budaya.

        Dari warisan budaya yang terjamin autentisitasnya maka akan dapat dipetik pelajaran berharga mengenai ciri kearifan lokal atau kepribadian budaya bangsa (local genius) yaitu berupa keunggulan dan kecerdasan yang dimiliki oleh masyarakat pendukung peradaban tersebut. Suatu contoh sebuah teknologi pengerjaan yang asli (original workmanship) pada bangunan cagar budaya banyak ditemukan di dalam struktur percandian maupun bangunan tradisional lainnya. Pada dasarnya teknologi pengerjaan yang asli tersebut mempunyai kaitan erat dengan konteks kultural dan tidak dapat terlepas dari ikatan zamannya. Khusus struktur candi yang menggunakan komponen material batu bersusun, maka ciri kearifan lokal yang ditemukan adalah mengenai prinsip-prinsip pembangunan candi, pemilihan lahan, perekayasaan lahan tempat didirikannya candi, pemadatan material fondasi bangunan, teknik sambungan batu, dan perkuatan antarblok batu. Dengan demikian, sesuatu yang autentik tersebut salah satunya dapat dijadikan sebagai penanda atau tengeran yang bernilai pada kurun zaman tertentu dan pada akhirnya dapat menjadi inspirasi bagi kehidupan kita saat ini.

      Pemugaran bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya pada dasarnya untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan mengawetkan melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi. Di samping itu, harus memperhatikan kondisi semula atau keaslian sebagaimana konvensi internasional Konvensi UNESCO tahun 1972, yaitu dengan tingkat perubahan sekecil mungkin dengan penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak merusak. Prinsip-prinsip, landasan perundang-undangan, acuan pelaksanaan, dan prosedur teknis pelaksanaan pemugaran tersebut sudah terukur validitasnya.

       Untuk menentukan pada pilihan pemugaran dengan pendekatan dan bagaimana jenis yang akan dilakukan, maka tergantung dari kebutuhan konkret bangunan cagar budaya sebagai objek dan hasil kajian komprehensif multidimensional dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Di samping itu, juga adanya kemauan yang arif dari penentu kebijakan, penyelenggara, dan pelaksana pemugaran sebagai subjek di dalam memformulasikan implementasi penanganannya. Apabila kerangka kajian objek sudah terukur secara jelas validitasnya, maka kerangka subjek yang berupa persepsi dan interpretasi untuk menentukan pilihan model pelaksanaan serta bagaimana mengimplementasikan dan mengevaluasi program pemugaran menjadi salah satu penentu “kebijakan yang dijalankannya”. Dengan demikian, untuk dapat terjaga validitasnya menjadi sebuah penanganan yang objektif, maka suatu proses kerangka kerja yang melibatkan subjek harus tetap dijaga subjektivitasnya.

     Di dalam proses pemugaran, kerangka subjektivitas sebagai konfigurasi sikap dari penentu dan pelaku pemugaran, harus dikendalikan oleh frame baku dan rambu-rambu yang sesuai dengan prinsip autentisitas dan kearifan lokal yang ada. Hal itu dijalankan agar “subjek pelaku” dan institusi pemangku kepentingan tetap dalam koridor menjaga keutuhan atau tingkat perubahan yang kecil, dapat dipercaya, sesuai kebutuhan apa adanya, dan kondisi konkret warisan budaya tersebut. Hal itu dilakukan agar tidak terjebak pada kerangka “menurut kemauan subjek secara ekstrem atau bersifat subjektivistik” yang cenderung tanpa kontrol, bersifat manipulatif, dan mengabaikan prinsip baku.