Tema

Edisi

Penerbit                                  

Unduh

Catatan Redaksi

: Buletin Narasimha

: No. 01/I/2008

: Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta

: bit.ly/narasimha2008

: Narasimha

     Narasimha merupakan awatara Dewa Wisnu dalam bentuk demonis untuk membebaskan dunia dari Hiranyakasipu, seorang daitya yang amat berkuasa. Raja tersebut tidak bisa dimusnahkan dalam kondisi situasi normal. Oleh karena itu, dalam pembebasan itu Dewa Wisnu digambarkan sebagai dewa yang amat “murka” yakni berupa separuh manusia dan separuh singa yang merobek isi perut (dada) asura tersebut. Di samping itu, lokasi murka Wisnu tersebut diambang pintu ruang dan waktu peristiwa pada saat senja. Secara mitologis turunnya awatara Wisnu ini adalah pada masa kali (kaliyuga), yakni suatu masa keruntuhan yang dipenuhi dengan dosa, sehingga dewa pun harus bertindak tegas bahkan berwujud kejam agar dunia tetap berdiri.

      Sebagai sebuah produk budaya yang dilatarbelakangi konsep kosmogonis, arca merupakan ‘ikon’ pemujaan yang hidup bersama-sama secara kultural para pembuat maupun pemujanya. Jika kita kembali ke masa Mataram Kuna Jawa Tengah, setidaknya kita mendapati adanya anasir-anasir tentang seorang tokoh yang juga mempunyai gelar epiteton sebagai “ pembunuh musuh atau pelindung dunia “. Di dalam parsasti Kelurak (704 Saka) menyebut seorang tokoh bernama Dharanindra Sanggrama Dhananjaya – sebagai keturunan dinasti Sailendra – yang menyandang gelar sebagai ‘wirawairimanthana’ atau pembunuh musuh.

         Temuan arca Narasimha dari situs Sumur Bandung, Sambirejo, Prambanan, Sleman DIY ini tentunya juga dapat menjadi sebuah representasi manusia pada masanya. Jika Narasimha sering dikaitkan dengan masa kaliyuga dimana merupakan suatu masa penuh kerusakan dan kegoncangan, maka bias ditarik suatu hipotesa dini bahwa pada suatu waktu di zaman Mataram Kuna (baca : Mataram Kuna periode Prambanan) pernah terjadi suatu kondisi yang tidak stabil. Seringkali ketidakstabilan ini lebih banyak terjadi dalam bidang politik yang tentunya juga berimbas pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya.

       Belum dapat dipastikan mengenai kurun waktu yang tepat mengenai hipotesa tersebut. Namun lain halnya dengan catatan dari masa yang lebih muda yakni dari masa Kertanegara. Ia dikenal dengan sebutan Narasimhamurti atau titisan Narasimha. Sebagai Narasimhamurti, Kertanegara banyak melakukan pembasmian penjahat keji, peperangan dengan Malayu serta melakukan penyerangan terhadap Bali dari kurun waktu 1192 Saka hingga 1206 Saka. Tampak jika ia berusaha menghilangkan dengan tangan besi segala rintangan-rintangan untuk membebaskan dunia dari cengkeraman kaliyuga.

        Adakah korelasi positif antara arca Narasimha dari situs Sumur Bandung dengan dinasti Sailendra yang pada pertengahan abad kedelapan sedang gencar-gencarnya melakukan politik ekspansi perluasan wilayah, tidak hanya di pulau Jawa bahkan hingga seberang lautan. Hal tersebut merupakan interpretasi nilai konteks sosio kultural keberadaan arca Narasimha. Pertanyaan berikut, adakah korelasi antara aspek kosmologis Narasimha dengan nilai filosofis yang mempunyai arti penting yang relevan untuk saat ini.

       Memperhatikan aspek mitologis Narasimha, maka ada beberapa makna yang perlu dicatat. Narasimha pada dasarnya merefleksikan sebuah tindakan yang didasarkan kepada sikap kritis dalam menyelesaikan permasalahan yaitu membunuh Hiranyakasipu (angkara murka) yang tidak bisa dimusnahkan oleh manusia pada waktu siang atau malam dan diluar maaupun di dalam. Sikap kritis didasarkan kepada alternatif tindakan yang dilakukan, yaitu dengan perwujudan seperti mitologi dan ciri-ciri penggambaran arca tersebut diatas.

        Alternatif kritis tersebut dikonfigurasikan dengan berbagai cara, yaitu tindakan untuk mengatasi tantangan yang ada dengan pilihan waktu, pilihan lokasi, dan pilihan pendekatan yang tepat dalam memberikan solusi. Pola pikir tersebut masih relevan bagi kondisi sekarang. Upaya-upaya konkrit yang kita lakukan dalam pelestarian sumber daya arkeologi, baik pendekatan aksi bersifat fisik atau material maupun langkahlangkah implementasi presentasinya juga harus mereflleksikan pola pikir alternatif kritis tersebut.

      Upaya presentasi sumberdaya arkeologi salah satunya dapat menggunakan media publik tercetak. Berkoherensi dengan hal itu visi – misi tulisan dalam buletin ini bukan untuk menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi, mencoba memberi kontribusi pemikiran dan wahana media komunikasi untuk pemahaman upaya pelestarian sumber daya arkeologi sebagaimana pendekatan sikap kritis Narasimha dalam mengurai permasalahan dan tantangan zamannya.