Candi Prambanan (Foto: Dok. BPCB DIY 2018)

     Bangunan Candi kerap meninggalkan pertanyaan bagi para pengunjungnya. Bagaimana nenek moyang kita membangunnya? Pertanyaan itu muncul mengingat teknologi pada masa lalu belum secanggih masa kini.

     Candi adalah peninggalan sejarah dari masa kerajaan atau kerap dikenal sebagai masa klasik Hindu-Buddha di Indonesia. Kamus Istilah Arkeologi-Cagar Budaya karya arkeolog R. Cecep Eka Permana (2016) menjelaskan jika candi adalah istilah umum untuk menamakan semua bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia. Bangunan tersebut banyak ragam rupanya, misalnya pemandian kuna, gapura atau gerbang kuna, maupun bangunan suci keagamaan. Istilah candi juga kerap digunakan di sejumlah tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Candi digunakan untuk menyebut suatu kelompok arca yang menjadi pundhen desa.

Pedoman Pembangunan Candi

     Pembangunan candi di Jawa selama ini banyak ditafsirkan melalui data arkeologi. Sementara berdasarkan data pustaka yang ada, pembangunan candi atau kuil di India mengacu pada kitab Manasara Silpasastra. Kitab ini berisi tentang tata cara membangun candi mulai dari awal hingga akhir.

     Pada masa Hindu-Buddha atau Jawa Kuno, kemungkinan kitab asal India ini telah digubah sesuai dengan versi Jawa Kuno. Versi ini nampaknya tidak sampai kepada kita, generasi sekarang. Versi yang ada dan dikenal hingga saat ini adalah versi dari kebudayaan Hindu-Bali. Versi ini masih dikenal dan dijadikan sebagai suatu kitab tuntunan mendirikan bangunan suci bahkan bangunan hunian juga, yaitu Hasta Kosala-Kosali (Asta Kosala-kosali) dan Asta Bumi. Agus Aris Munandar dalam Keistimewaan Candi-Candi Zaman Majapahit menyebut jika beberapa lontar Asta Kosala-kosali itu sampai sekarang masih bertahan dan secara tradisi tetap dijadikan acuan untuk pembangunan pura baru, perbaikan pura, dan bahkan pembangunan rumah tinggal yang sesuai dengan adat tradisi.

     Berdasarkan  kitab Manasara Silpasastra, tata cara pembangunan candi meliputi  perencanaan bentuk candi, mencari lokasi untuk membangun candi, menguji tanah, menyiapkan tanah, pembuatan vastupurusamandala (denah suci), membuat denah dan menempatkannya sesuai rencana ruang pada mandala serta pengerjaan fisik, seperti penumpukan batu dan membuat ornamen.

     Tahapan dari tata cara tersebut diperlukan, mengingat pentingnya fungsi Candi pada masa klasik. Candi adalah bangunan yang berfungsi untuk memuliakan dewata atau tokoh yang telah diperdewa. 

     Penentuan lokasi merupakan bagian yang penting. Lahan calon lokasi candi harus suci, keramat, tenang dan jauh dari keramaian. Lahan juga dipandang menyimpan kekuatan dewa, atau lokasi tempat kekuatan supernatural senang bersemayam.

     Penentuan lahan ini memerlukan kajian yang mendalam oleh kaum brahmana. Lahan yang biasa digunakan untuk candi misalnya hutan yang lebat, lereng gunung, dekat rangkaian pegunungan, di tepian persawahan yang subur, atau juga dekat sumber-sumber air, seperti mata air, kolam, danau, sendang, sungai, dan pertemuan dua sungai. Candi di Jawa biasa ditemukan di lokasi-lokasi tersebut.

Candi Ijo, yang dibangun di atas perbukitan (Foto: Dok. BPCB DIY 2022)

Proses Pembangunan Candi

     Pada proses pembangunan candi, ada beberapa profesi yang terlibat. Mereka adalah Yajamana (orang yang mempunyai gagasan, bisa jadi seorang raja atau tokoh lainnya), Sthapaka (ketua pendeta, pendeta senior yang mahir dalam ilmu bangunan suci), Sthapati (arsitek-perencana), Sutragrahin (ahli perhitungan teknis), Taksaka (ahli pahat: relief dan arca), dan Wardhakin (ahli hiasan arsitektural ataupun ornamental).

Relief yang berkisah pembakaran istana Alengka oleh Anoman. Relief ini berada pada Panel 21 Candi Siwa. Relief ini dipahatkan oleh Silpin yang terlibat dalam pembangunan Candi Prambanan (Foto: Dok. BPCB DIY 2018)

     Profesi inilah yang berperan mulai dari ide awal pembangunan hingga bangunan candi tegak berdiri. Figur Sthapaka adalah pilihan dari Yajamana. Soekmono dalam Candi Fungsi dan Pengertiannya menyebutkan bahwa  Sthapaka haruslah seorang Brahmana yang memenuhi sejumlah syarat, di antaranya tahu benar akan sari serta makna kitab-kitab suci, selalu memperhatikan langkah lakunya sesuai dengan kasta dan tingkatan hidupnya. Sthapaka juga harus benar-benar mahir dalam ilmunya, mampu mempersatukan dirinya dengan pekerjaannya, dan percaya pada tuah dari tradisi pembangunan kuil tersebut.

     Sementara profesi  Sthapati, Sutragrahin, Taksaka, Wardhakin disebut juga sebagai Silpin (seniman). Keterlibatan profesi dan tahapan yang beragam menunjukkan jika pembangunan candi membutuhkan waktu yang tidak singkat. Pembangunan candi tidak akan rampung dalam semalam seperti legenda Roro Jonggrang.

Epilog

     Candi merupakan hasil kebudayaan dari masa klasik. Sejumlah candi bisa dipugar dan dilestarikan sehingga bisa disaksikan kemegahannya oleh generasi sekarang. Uraian di atas menunjukkan bahwa pembangunan candi tidak semudah cerita legenda yang sering kita dengar.

     Pembangunan candi membutuhkan sumber daya manusia yang memang berkeahlian khusus. Tahapannya juga harus sesuai pedoman kitab kuno Manasara Silpasastra. Maka generasi sekarang seharusnya lebih peduli pada candi. Generasi kita tidak pernah melalui tahapan tersebut. Generasi kita dan yang akan datang hanya harus rajin mengunjungi, melindungi dan melestarikannya.  

 

Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.

Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum

di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta