Keberadaan Prajurit Daeng di Keraton Yogyakarta sudah ada sejak tahun 1763, pasca adanya peristiwa pemulangan Ratu Bendara, oleh Mangkunegara I dari Kadipaten Mangkunegaran Surakarta. Ratu Bendara adalah salah satu puteri raja Kasultanan Yogyakarta yaitu Hamengku Buwana I. Pada dasarnya adanya prajurit dari Makasar Sulawesi Selatan ke Kerajaan Mataram sudah dimulai sejak pemerintahan Mataram Kartasura di bawah Sunan Amangkurat II. Tren penyebaran prajurit dari Makasar meluas ke berbagai penjuru Nusantara umumnya dan Jawa khususnya, mempunyai koherensi dengan adanya dampak perjanjian Bongaya 18 November 1667 antara Sultan Hasanudin dengan Speelman VOC.
Tidak mengherankan apabila pada abad XVIII keberadaan orang-orang Makasar masih eksis di keraton-keraton Jawa. Oleh karena itu, Prajurit Daeng juga mendapat tempat menjadi kesatuan yang eksis di Keraton Yogyakarta. Bahkan keberadaan prajurit ini mendapat tempat kediaman yang representatif, pada masa Hamengku Buwana I sampai Hamengku Buwana III berada di sekeliling dalam benteng baluwarti seperti halnya prajurit lainnya, kemudian pada masa Hamengku Buwana IV ditempatkan di luar beteng baluwarti. Prajurit Daeng berada di tenggara benteng baluwarti dengan nama kampung Daengan.
Struktur keprajuritan yaitu 2 orang Panji, 1 orang pembawa dwaja dengan nama Bahningsari (bendera warna dasar putih dengan pola hias bintang segi delapan), dan tombak dwaja Kiai Jatimulya. Ciri-ciri Prajurit Daeng dengan seragam topi mancung hitam dengan bulu-bulu warna putih, baju putih sikepan lengan panjang dengan tumpal warna merah di dada. Perlengkapan senjata antara lain keris, tombak, senapan dan pedang komando panji. Instrumen korps musik dengan peralatan genderang, ketipung, seruling, bende (besar dan kecil), kecer, pui-pui. Irama musik yaitu Kenaba untuk jalan kitmad dan Ondhal andhil untuk jalan mars cepat. Prajurit ini sekarang menjadi bagian untuk melaksanakan prosesi upacara keraton, Garebeg Syawal, Garebeg Sekaten Maulid Nabi, Pawiwahan Agung, dan prosesi budaya lainnya.