Merlina Agustina Orllanda

Upaya untuk mempertahankan kedaulatan RI pasca kemerdekaan merupakan perjuangan yang panjang. Belanda dan rumpun penjajah yang ingin menancapkan kembali kekuasaannya di tanah air merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi. Pergelutan bangsa Indonesia dalam menentang penjajah saat itu tidak hanya ditempuh dengan perlawanan fisik, tapi juga dengan jalur diplomasi. Lewat perundingan-perundingan internasional para delegasi muda Indonesia berjuang untuk mempertahankan bangsa yang merdeka.

Perjuangan-perjuangan melalui meja perundingan diantaranya Pertemuan Soekarno-Van Mook, Pertemuan Sjahrir-Van Mook, Perundingan Sjahrir-Van Mook, Perundingan di Hooge Veluwe, Perundingan Linggajati, Perundingan Renville, Persetujuan Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Sikap kolonialis bangsa kincir angin menyulut  terselenggaranya Perundingan Renville dalam  narasi sejarah perjuangan Indonesia. Muktamar tersebut dilatarbelakangi oleh Agresi Militer Belanda I yang berwujud kesumat antara Indonesia-Belanda.Pada 21 Juli-4 Agustus 1947 Belanda melancarkan Actie politioneel (tindakan kepolisian) atas Jawa dan Sumatera. Operasi militer itu dilaksanakan lantaran RI tidak mau mengakui hasil dari Perundingan Linggajati. Sandi dari Agresi Belanda ini adalah “ Operasi Produk” yang ditujukan bagi  wilayah-wilayah sentral penunjang ekonomi Belanda. Tindakan militer Belanda memotivasi Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada 25 Agustus 1947. Tujuannya agar situasi perang yang  sedang berlangsung dapat dihentikan. Perundingan Renville akhirnya terlaksana berkat usulan Dewan PBB dan KTN (Komisi Tiga Negara) (Imran, dkk, 2012: 228).

Perundingan Renville berlangsung pada 8 Desember 1947. Indonesia diwakilkan oleh Amir syarifudin dan dihadiri beberapa delegasi Indonesia seperti Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr.J. Leimena, Dr. Coatik Len dan Nasrun. Di samping itu, Belanda diwakilkan oleh orang Indonesia yang pro Belanda “Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo” dan beberapa anggota yaitu  Mr. H.A.L. Van Vredenburg, Dr.P.J. Koets dan Mr.Dr.Chr.Soumokil. Saat perundingan KTN berperan sebagai mediator. Richard C, Kirby  dari Australia  mendampingi Indonesia, Paul van Zeeland dari Belgia sebagai wakil Belanda dan Frank P. Graham dari Amerika berada di pihak netral karena sama-sama dipilih Australia dan Belgia. Dari perantara KTN  akhirnya Penandatangan Perundingan Renville berlangsung  di atas kapal pengangkut tentara Amerika, yaitu Kapal USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta pada 17 Januari 1948 dan 19 Januari 1948 (Imran, dkk, 2012: 229).

Berdasarkan Hasil Perundingan  Renville ditetapkan bahwa Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Kemudian disetujuisebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah kekuasaan Belanda. Dari pada itu, Pasukan TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah Operasi Militer Belanda. Penandatanganan hasil perundingan pada 17 Januari 1948 tidak  mengalami perubahan signifikan dari perundingan sebelumnya, tetapi hasil Perundingan Renvilleyang ditandatangani pada 19 Januari 1948 memiliki perbedaan karena Belanda  menginginkan agar pemerintah RI berkenan mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS) yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan Uni Indonesia-Belanda. Dalam hal ini Belanda mengklaim seluruh kedaulatannya atas Hindia Belanda dan membentuk sebuah pemerintahan interim untuk mewujudkan Indonesia Serikat (Imran, dkk, 2012: 229).

Perundingan Renville memberikan masalah baru dalam kisah Indonesia saat itu karena Persetujuan Renville telah mempersembahkan kemenangan besar bagi pihak Belanda dan memberikan kerugian besar bagi Pihak Republik. Oleh sebab itu, Penandatanganan Perundingan Renville menyebabkan Amir Sjarifuddin meletakkan jabatannya pada 23 Januari 1948 dan kemudian digantikan Hatta untuk memimpin suatu kabinet “presidentil darurat (1948-1949)”. Kabinet tersebut langsung bertanggungjawab kepada Soekarno sebagai presiden (Ricklefs, 2009: 475).

Sesuai itu, maka hasil perundingan semakin mempersempit wilayah RI yang meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Jaminan Dewan Keamanan PBB yang akan menolong Indonesia dan faktor kekurangan amunisi di Pihak Republik mendorong diambilnya keputusan bijak dalam menerima hasil Perundingan Renville. Hal itu menimbulkan simpati Amerika terhadap Indonesia  (Ricklefs, 2009: 475).

Perundingan Renville membuat wilayah RI menjadi terpecah belah dengan mendirikan perserikatan seperti Negara Madura, Negara Borneo Barat, Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timur. Kisah sejarah tersebut telah berlalu sekitar 71 tahun yang lalu, namun perjalanan untuk mempertahankankedaulatan tanah air menyisakan kesan dan kearifan yang harus dilestarikan. NKRI yang merdeka dan berdaulat menunjukkan rasa memiliki para cendekiawan atas tanah air.  Berbagai forum diisi golongan intelektual demi menyuarakan kemerdekaan Indonesia yang anti penjajahan. Perjuangan-perjuangan tersebut harus senantiasa dilanjutkan oleh generasi penerus.

Untuk mengenang perjalanan bangsa menghadapi tantangan pada awal kemerdekaan, di Jalan Padang Panjang-Lubuk Alung, Jorong Batang Tapakih, Kelurahan Nagari Sintuk, Kecamatan Sintuk Toboh Gadang Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat didirikan Tugu Batas Renville.Tugu yang berbentuk balok itu berada pada posisi di tepi jalan Raya (tepatnya dipinggir Jembatan Sungai Batang Tapakih). Peninggalan masa lalu ini merupakan cagar budaya dalam lingkup wilayah kerja Badan Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau(Daftar Cagar Budaya Kabupaten Padang Pariaman, 2017: 28).

Keberadaan Tugu Batas Renville ini merupakan spektator dari eksistensi Perundingan Renville. Sejarah Indonesia umumnya disosialisasikan di sekolah, tapi dengan adanya monumen ini menimbulkan rasa ingin tahu masyarakat tentang peristiwa serta tokoh yang terlibat di dalamnya sehingga membentuk insan yang cerdas dan berwawasan nusantara.  Dari Tugu Batas Renville, masyarakat yang melintasinya  jadi sadar akan jejak kekuatan diplomatik bangsa Indonesia tempo dulu. Kemudian, dari pada itu masyarakat akan belajar banyak untuk menghadapi masa depan dan mencintai tanah air.

Berdasarkan pada perspektif itu,  maka menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dijelaskan bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Bersumber pada dasar hukum itu, maka cagar budaya dengan nomor inventaris 10/BCB-TB/A/12/2007ini harus terpelihara karena merupakan aset warisan bangsa yang berperan sebagai perekat dan jati diri bangsa di tengah kemajemukan.

Referensi

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. 2017 Daftar Inventaris Cagar Budaya Kabupaten Padang Pariaman Batusangkar : Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat.

Imran, Amrin dkk. 2012 “Perang Dan Revolusi”,Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 6 Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve dan Kemdikbud.

Ricklefs, M.C. 2009 Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 Jakarta : Serambi.