Tugu Adabiah oleh Drs. Nurmatias
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat
Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau

Orang Minangkabau merupakan masyarakat yang unik, yang selain dikenal dengan kebiasaannya merantau, berupaya untuk memadukan nilai-nilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan (Islam), dan merupakan komunitas masyarakat matrilineal terbesar di dunia, juga dibesarkan dalam suasana masyarakat egalitarian, dan sangat menghargai kebebasan individual mereka (Abdullah, 1966 ; Abdullah, 1971 ; Naim, 1984 ; Kato, 2005). Dengan kondisi masyarakat egalitarian yang  sangat menghargai kebebasan individu tersebut maka tidak jarang muncul perdebatan intelektual di antara orang Minang mengenai berbagai masalah dalam kehidupan mereka.

Konflik-konflik yang terjadi, betapapun keras dan sentralnya, tetap tidak untuk saling melenyapkan, sebab dalam filosofi hidup mereka adalah: mahampang malapehi, mambunuah mahiduiki (mengempang-melepaskan, membunuh-menghidupi).  Basilang kayu dalam tungku mako nasi masak (Bersilang kayu dalam tungku maka nasi jadi masak), Itu ungkapan dalam proses hidup manusia dalam berinteraksi. Banyak konflik yang terjadi dalam budaya Minang. Gerakan konflik awal di Minangkabau adalah Konflik Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan mengenai sistem kelarasan yang memicunya . Kemudian Kaum Paderi dan Kaum Adat. Gerakan Paderi, yang berlanjut menjadi perang melawan kolonialis Belanda selama 34 tahun, tidak serta merta membasmi ajaran Tarekat Syatariyah (Navis, 1983: 70-71). Demikian pula terhadap Kaum Adat, gerakan Paderi menurut Schrieke, bukanlah untuk menentang adat dan kerajaan Pagarruyung, melainkan gerakan solidaritas ulama untuk membersihkan kehidupan masyarakat dari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Keadaan tersebut di atas tidaklah berhenti disitu saja. Penyampaian pemikiran kritis oleh Kaum Mudo  kepada Kaum Tuo juga terjadi dalam sejarah masyarakat Minangkabau pasca Perang Paderi, yang lebih berorientasi pada pelaksanaan ajaran Islam. Konflik ini berlangsung antara Kaum Mudo, yang menginginkan ajaran Islam dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah yang telah banyak diselewengkan, serta mengajak memahami universalitas ajaran Islam secara modern dan elastis dengan Kaum Tuo yang berupaya untuk memahami ajaran Islam secara tradisional dan kaku, serta tetap mempertahankan adat yang telah mereka bangun sebelumnya (Schrieke, 1975 : 69).

Perdebatan intelektual yang dimaksud merupakan upaya perumusan dan penyampaian pemikiran kritis tentang berbagai hal dan aspek kehidupan daerah dan bangsa. Pemikiran-pemikiran kritis tersebut lazimnya disampaikan secara terbuka dan terus terang diberbagai kesempatan, baik secara lisan pada saat dilangsungkan rapat, kongres dan seminar maupun secara tertulis di surat kabar dan majalah. Orang Minang selalu memperdebatkan ide, dan tidak menelan mentah-mentah segala sesuatu yang berhubung dengan perihal kehidupan mereka, baik yang berasal dari Rantau maupun dari Ranah sendiri. Oleh karena itu berlangsungnya konflik secara berkepanjangan di dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan.

Salah satu hasil konflik kritis orang Minang ini adalah berdirinya perguruan Adabiah yang bergerak dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa melalui dunia pendidikan. Perguruan  Adabiah  merupakan sebuah perguruan yang didirikan di Kota Padang. Perguruan Adabiah ini didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad. Yayasan ini didirikan oleh Abdullah Ahmad bersama, Engku Apin, Engku Bute, Sampono Batuah, Engku Ibnu Majid Sidi, Thaher Marah Sutan, Sulaiman Efendi, dan Majid Sidi Sutan.  Bersamaan dengan pendirian Perguruan Adabiah beberapa ulama berlomba-lomba mendirikan sekolah sekitar tahun 1915-an seperti  Haji Abdullah Ahmad, Haji Jamil Jambek, dan Haji Karim Amrullah. Perguruan Adabiah merupakan sekolah pribumi yang memberikan kurikulum sekolah HIS, sekolah berbahasa Belanda untuk pribumi, sebagai upaya untuk meningkatkan harkat bangsanya yang tidak mendapat tempat di sekolah pemerintah. Perguruan Adabiah ini letaknya berdekatan dengan Pasar Raya Padang. Melihat kondisi dan situasi sekolah yang tidak memungkinkan sekolah maka pengurus memindahkan perguruan ini ke Jati. Untuk mengenang perguruan  ini pemerintah Padang membuat tugu  Adabiah  yang terletak dikawasan Pasar Raya  Padang. Tugu ini selain sebagai tugu peringatan berdirinya sekolah Adabiah juga merupakan bekas lokasi sekolah Adabiah, sebelum pindah ke lokasi baru Daerah Jati.

Tugu Adabiah berbentuk seperti bambu runcing silinder terpotong meruncing bagian atasnya dan diapit seperti huruf S yang saling berhadap-hadapan, dibagian bawahnya berbentuk bidang segi empat yang bertumpuk 4 yang disusun saling menyilang. Tugu ini disangga oleh bidang berbentuk balok yang dilapisi marmer dan berdiri di atas tanah yang Negara. Menari kita mengkaji simbol-simbol yang ada di Tugu seperti Bambu runcing yang menggambarkan semangat menyala-nyala dengan peralatan yang sangat sederhana memberikan hasil yang memuaskan. Simbol yang menyerupai huruf  S ini bahwa perjuangan harus melalui sebuah pengorbanan dan perjuangan. Sedangkan balok atau segi empat menandakan sebuah pondasi perjuangan harus kuat, kokoh dan saling bersinergi. Kalo ingin melihat  Tugu tersebut bisa datang daerah Simpang Kandang. Itu sekelumit cerita tentang Tugu Perguruan Adabiah. Wassalam.