Sungai Pua yang terkenal sebagai daerah penempa besi. Namun dibalik itu semua kawasan ini sudah menjadi kawasan pemukiman dengan arsitektur kolonial. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap tempat-tempat pemukiman di kecamatan Sungai Pua memang banyak ditemukan bangunan yang memiliki gaya arsitektur Belanda. Bangunan berupa hunian tersebut memiliki keunikan yaitu terdapatnya angka tahun pada depan rumah yang menunjukkan tahun pendirian dan ada juga yang mencantumkan tahun rehab rumah.

Sungai-Pua-sekitar-tahun-1900-1915 Sumber Fb Roman Saisuak

Eksistensi Belanda di Kecamatan Sungai Pua memiliki lokasi yang cukup strategis dengan udara yang sejuk di daerah ketinggian, yang sangat cocok untuk mendirikan tempat pemukiman dengan hamparan pemandangan pegunungan yang indah.

Berbagai Bangunan dengan paduan Arsitektur Kolonial dengan Gaya arsitektur Eropa

Andil besar Belanda di Sungai Pua termasuk dalam pembentukan struktur pemerintahannya. Pembentukan jabatan yang disebut Tuanku Lareh oleh Belanda menjadi hal yang begitu di puja oleh Belanda yang terkadang berkunjung ke Sungai Pua.  Seorang Tuanku Lareh harus bekerja sama dengan Belanda dan bersikap loyal. Inilah yang menjadikan Sungai Pua dapat dianggap memiliki ikatan erat dengan Belanda pada masanya. Seorang Tuanku Lareh juga dipilih dari kalangan penghulu di nagari. Penguasaan Tuanku Lareh di perkirakan mulai berjalan pada tahun 1870-an. Banyaknya bangunan arsitektur belanda yang dibangun oleh penduduk lokal juga membuktikan adanya masyarakat yang belajar terhadap ilmu pembangunan dari Belanda.

Nama Sungai Pua diperkirakan berasal dari istilah batang dan pua, yaitu kali yang kedua belah pinggirnya ditumbuhi sebangsa pohon membelah kampung Lidah Api sampai ke Cingkaring. Pada masa kependudukan Belanda di Sungai Pua, Belanda membagi kecamatan Sungai Pua menjadi dua nagari yaitu Kapalo Koto dan Tangah Koto, setiap nagari terdapat Lareh yang juga turut berpengaruh terhadap sistem di nagari. Tuanku Lareh adalah jabatan adat bikinan Belanda untuk mengontrol masyarakat Minangkabau. Gelar tuanku lareh (‘tuanku laras’), atau larashoofd (‘kepala laras’) dalam bahasa Belanda, cukup bergengsi di Minangkabau pada zaman kolonial dalam tulisan Alfred Maass, Quer durch Sumatra: Reise-Erinnerungen (Berlin: Wilhelm Süsserott, 1904).

Datuak Tumangguang berkuasa antara 1870-an sampai 1930-an. Ia dikenal dekat dengan Belanda dan cukup cerdik menggunakan jabatannya untuk kesejahteraan keluarganya. Rumahnya gadang yang besar di Sungai Pua, dan termasuk yang termewah untuk ukuran waktu itu, acap kali kedatangan tamu-tamu penting orang Belanda (antara lain perintis pembuatan jalan kereta api, J.W. Ijzerman, peneliti Jerman Alfred Maas, dan mantan misionaris Meint Joustra). Para pengunjung Eropa itu sempat membuat foto interior rumah gadang milik Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman dalam tulisan Suryadi dan lihat juga Alfred Maass, Quer durch Sumatra: Reise-Erinnerungen (Berlin: Wilhelm Süsserott, 1904).

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap besarnya pengaruh Belanda tersebut tentunya juga merasuk pada tinggalannya yang kemudian memiliki nilai-nilai yang harus dipertahankan sebagai bukti sejarah di masa silam. Interaksi orang berpengaruh di Sungai Pua dengan Belanda salah satu faktor banyaknya bangunan yang ada disini terpengaruh juga dengan gaya arsitektur Belanda. Terlebih akses transportasi kereta api pada masa itu untuk mengangkut bahan baku semen dari kota Padang juga melalui daerah Sungai Pua. Oleh sebab itu, maka diperlukan pendataan terhadap tinggalan-tinggalan tersebut untuk dilakukan inventarisasi sebagai bangunan cagar budaya, berdasarkan penilaian dan kriteria sebuah cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau.

Pendataan cagar budaya di Kecamatan Sungai Pua terdapat di Nagari Sariak, jorong Tabek Sariak, Jorong Pasa Kubang, Jorong Baruah Mudiak dan Jorong Pandam. Dari hasil pendataan Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau tersebut diperoleh satu situs cagar budaya dan 49 bangunan cagar budaya. satu situs cagar budaya yaitu Medan Bapaneh Cancang 16. Rata-rata pembangunan Rumah dengan arsitektur kolonial rentang tahun 1920-1935 dari pendataan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera barat tahun 2015.