Revi Handayani, S.Pd., M. Hum (STKIP Pesisir Selatan)

Sebuah monumen dibuat agar suatu peristiwa penting, heroik, penuh darah dan air mata, dapat dikenang serta diceritakan kepada anak cucu. Banyak tragedi terjadi dalam perjuangan merebut kemerdekaan maupun mempertahankannya. Kota Padang, sebuah kota kolonial di pesisir barat pulau Sumatera menyimpan banyak kisah perjuangan. Salah satu tugu bersejarah  di Kota Padang terletak  di  Simpang Tinju, Siteba. Sebuah tugu peringatan yang menginisiasi penamaan pertigaan tersebut karena dibuat mirip kepalan tangan berukuran besar. Tugu itu berada di Kelurahan Kampung Olo, Kec. Nanggalo. Dibangun di tengah keramaian jalur utama.


Sumber : Dokumentasi Pribadi Revi Handayani

Bentuk fisik tugu yang mirip seperti kepalan tangan seorang laki-laki perkasa mengalahkan popularitas dari nama resmi yang diberikan terhadap tugu tersebut. Aslinya, tugu ini dinamakan Tugu Bagindo Aziz Chan. Ia merupakan seseorang  yang berjasa dan berpengaruh pada masa itu. Tugu itu diresmikan oleh Syarul Ujud, Wali Kota Padang ke-11 pada tanggal 19 Juli 1985. Pemilihan bentuk kepalan tinju menggambarkan semangat dan perjuangan yang digalang oleh seorang Bagindo Aziz Chan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Padang.

Bagindo Aziz Chan merupakan Walikota Padang kedua. Ia memerintah pada saat Belanda hendak menduduki kembali wilayah-wilayah bekas jajahannya. Aziz Chan dikenal sebagai seorang yang jujur, bertekad kuat, pantang mundur dan luwes.  Ia menggantikan  Mr. Abu Bakar Djaar yang diangkat  sebagai Residen Sumatera Timur. Penugasan tersebut membuat sang Mister harus berangkat ke tempat kedudukannya yang baru di Tebing Tinggi.  Beragam kepahitan dalam perjuangan  untuk mendapatkan pengakuan secara “de facto” dan “de jure” terhadap kemerdekaan RI di Kota Padang. Getirnya  perjuangan dan tugas yang sangat berat serta berbahaya hanya mampu diemban oleh orang tulus yang satu tekad pengabdian, bersikap berani dan keberanian itu dijalani dengan penuh kebijaksanaan.

Beragam sikap ditunjukkan oleh berbagai kelompok masyarakat Kota Padang setelah dibacakannya naskah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Respon yang beragam itu membuat keadaan di Kota Padang semakin panas. Ketidakpastian informasi berakibat munculnya problem baru yang memicu persengketaan sesama bangsa  sendiri yang tidak percaya akan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal itu berlangsung di bawah upaya Belanda untuk menduduki kembali wilayah-wilayah bekas jajahannya termasuk Kota Padang. Sesuai instruksi Pemerintah Pusat, Kota Padang harus dipertahankan. Dalam ancaman pendudukan kembali dari Kerajaan Belanda, Aziz Chan menerima amanat sebagai Walikota Padang.

Sumber : Dokumentasi Pribadi Revi handayani

Pada  tanggal 8 Januari 1947, Pemerintah Belanda meminta perundingan kembali dengan pemerintah Kota Padang. Tawaran itu diterima dan dilangsungkan pada tanggal 10 Januari 1947. Dari pihak RI, hadir  Walikota Bagindo Aziz Chan, Sutan M. Djosan, Dr. M. Djamil, Orang Kayo Ganto Suaro dan Syamsu Anwar. Adapun di pihak Belanda hadir De Boer, van Straten dan Kapten Warnaar. Perundingan itu membahas penghentian tembak-menembak, penetapan Garis Dermakasi, pembentukan Polisi Negara Republik Indonesia dan status orang-orang tahanan. Adapun aspek militer, negosiasi dilakukan oleh perwakilan militer masing-masing pihak, yakni antara Kolonel Ismael Lengah dengan Kolonel Sluyter dari pihak Belanda. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang kelak dilanggar sendiri oleh pihak Belanda.

Pada suatu sore di tanggal 19 Juli tahun 1947, sehari sebelum puasa tahun 1366 H, Bagindo Aziz Chan bersama keluarga melakukan perjalanan menuju Padang Panjang. Ketika melewati Purus, mobil yang membawa rombongan Aziz Chan dihentikan oleh Letnan Kolonel van Erps. Aziz Chan selanjutnya dinaikkan ke sebuah jeep milik tentara Belanda, lalu dibawa ke garis demarkasi Belanda di daerah Nanggalo. Kepadanya dijelaskan bahwa terjadi sebuah insiden di sekitar garis demarkasi sehingga walikota perlu melakukan inspeksi. Tetapi, baru saja Aziz Chan turun dari jeep yang ditumpanginya, sebuah peluru tepat mengenai leher dan seketika itu juga ia tewas di tempat. Akan tetapi, informasi tentang kematian Aziz Chan memiliki informasi berbeda. Menurut 4 orang dokter yang melakukan pemeriksaan forensik terhadap jenazah Aziz Chan, dijelaskan bahwa ada luka memar di belakang kepala bekas dipukul benda tumpul, selain itu juga ada lubang bekas peluru di belakang telinga. Dengan pengawalan dari tentara, dan iring-iringan dalam jumlah banyak, jenazah Aziz Chan dibawa ke Bukittinggi dan dimakamkan sebagai seorang pahlawan di Taman Bahagia. Sementara itu, tepat di tempat pembunuhan Aziz Chan, dibangun tugu atau monumen berbentuk tinju sebagai penghormatan terhadap sang patriot, agar perjuangannya dilanjutkan, dan semangat juangnya tetap dikenang. RVH