oleh: Aulia Rahman, S.Hum

Sejarah panjang perdagangan candu di Nusantara menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah Indonesia. Pada masa Hindia Belanda, candu menjadi salah satu alat pengendali ampuh masyarakat Indonesia. Selain cara militer, candu menjadi senjata pembodohan secara tersistematis masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda. Keuntungan perdagangan candu dinikmati oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk memperpanjang masa kekuasaannya di Nusantara. Candu sebagai salah satu mata dagangan penting untuk pundi-pundi VOC. Pada masa gubernur jenderal Gustaaf Baron van Imhoff (1745), diberlakukan sistem perdagangan bebas candu. Diperkirakan, dari 1619-1799, tiap tahun VOC memasok rata-rata 56 ton candu ke Pulau Jawa. Tidak tanggung-tanggung, dalam perdagangan candu ini, para pejabat VOC menciptakan sebuah organisasi yang dinamakan Opium Society. Tidak heran, hingga 1880, pajak perdagangan candu merupakan penghasilan paling besar bagi Pemerintah Hindia Belanda. (Republika.Co.Id, Pabrik Candu di Batavia).

Pada awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari Batavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya di Jawa Timur, bahkan Pulau Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa di seantero wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium. Peningkatan berlipat ganda terjadi antara tahun 1802 sampai 1814 akibat pengaruh inflasi serta pelaksanaan monopoli Inggris yang lebih keras. Dekade selanjutnya 1814-1824 pajak dari perdagangan candu tercatat meningkat hingga lima kali lipat. ((koransulindo.com : jejak madat di jawa dari voc hingga si raja candu) bahkan untuk melakukan perdagangan opium VOC menyewakan tanah partikelir (beserta penduduknya), menjual pajak borongan, menyewa candu.

Dampak negatif bagi rakyat dimana rakyat menjadi miskin dan sengsara akibat sistem pemadatan ini. Sistem opium yang sangat merugikan ini ditentang oleh banyak orang terutama oleh Anti Opium Bond pada tahun 1890. Anti Opium Bond ini juga menyarankan kepada pemerintah kolonial untuk mengganti sistem opiumpacht menjadi sistem opium regie. Saran ini diterima dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Sistem penjualan candu yang baru, opium regie merupakan monopoli penjualan candu oleh pemerintah secara keseluruhan mulai dari impor hingga candu sampai ke tangan pembeli. Sistem opium regie ini mengadopsi sistem yang dijalankan oleh Perancis di Indo China.

Opium regie mulai diberlakukan pada tahun 1894 di Madura dan Pulau Jawa. Pemerintah kolonial Belanda melarang penanaman opium di seluruh Hindia Belanda, opium diimpor dan diolah dipabrik yang didirikan di Batavia. Sistem opium regie mengharuskan penjual yang disebut mantri candu, mencantumkan papan nama di setiap bangunan yang menjual candu dengan nama “Kantor Penjualan” dengan bahasa Belanda, Melayu dan bahasa daerah dimana candu tersebut dijual. Biasanya loket penjualan candu terdapat di wilayah-wilayah yang dekat dengan masyarakat seperti dekat pasar, perkebunan, dan pelabuhan. Loket candu ini dibuka pada siang hari mulai jam 12 siang hingga jam 10 malam, pada hari minggu dan hari-hari besar seperti gerebeg puasa, hari ulang tahun kerajaan Belanda.

Di Pulau Sumatera sendiri, perdagangan candu lebih terkonsentrasi di daerah-daerah di sekitar selat Malaka. Sebagiamana yang ditulis oleh Nia Deliana Alumnus Sejarah dan Peradaban Universitas Islam Antarbangsa Malaysia, sukarelawan Pusat kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) mengatakan Perdagangan di Selat Melaka merupakan perdagangan yang dangkal dimana opium dapat diselundupkan ke perairan Sumatra tanpa harus melalui monopoli Batavia. Secara statistik, Singapura tampaknya merupakan fokus kegiatan semacam ini, sedangkan Penang dan Malaka  punya andil dalam mendistribusikan candu-candu tersebut. Pada hakikatnya, Belanda melakukan kesepakatan dengan Inggris terhadap monopoli perdagangan opium dimana Inggris memegang kendali perdagangan opium di kawasan selain Hindia Timur. Setelah Belanda mendapatkan kesepakatan sebagai penjual utama candu di Hindia Timur, Opium Society dibentuk pada tahun 1754. Organisasi ini bergerak tidak hanya sebagai pusat penyimpanan opium tapi juga bertanggung jawab mengontrol penjual-penjual opium grosiran yang kebanyakannya dimiliki oleh saudagar-saudagar Cina yang kaya. Baru kemudian pada tahun 1808, sistem pembelian dijalankan. Dalam sistem ini Belanda menentukan daerah-daerah legal opium.

Di Aceh sendiri catatan peredaran opium banyak didokumentasikan selama masa peperangan sejak tahun 1870an. Scheltema (1907) menyebutkan bahwa gedung yang pertama dibangun Belanda ketika berhasil menapakkan kakinya di Aceh bukan gereja atau sekolah melainkan sarang opium. Scheltema memaparkan beberapa paragrapgh dalam tulisannya The Opium Trade in the Dutch East Indies tentang bagaimana pemimpin muslim di Batam, Lombok, dan Sumatra menanggapi perokok candu. Katanya, jika dibandingkan dengan pemikiran terbelakang orang kulit putih, pemimpin-pemimpin tersebut menegaskan hukum pemakaian candu sama dengan minuman memabukkan. Bahkan di Banten, candu memiliki hukum yang sama dengan judi, fitnah, dan lain sebagainya. Sebaliknya, katanya lagi, orang kulit putih yang tahu persis manfaat dan kerugian opium mempopulerkan opium hanya untuk kepentingan politik dan ekonominya.

Selain itu, Cara VOC menancapkan kukunya di Kerajaan Nusantara dengan memberikan bantuan. Dikutip dari tulisan M Ali Surakhman berjudul Skandal Candu dan Perjanjian VOC dan Sultan Jambi mengatakan dalam pemberian bantuan itu diringi juga dengan perjanjian perjanjian yang mengikat. Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalaga terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor. Kerajaan Jambi mendapatkan bantuan dari VOC sehingga berhasil menang. VOC memberikan perjanjian-perjanjian pada kerajaan Jambi. Tujuan utama dari perjanjian-perjanjian ini adalah untuk menguatkan monopoli pembelian lada. VOC juga memaksa untuk untuk penjualan kain dan opium.  Dalam kontrak 6 Juli 1643 VOC dan Sultan Jambi, yaitu Pangeran Anom dengan VOC yang diwakili oleh Pieter Soury mengenai lada menyebutkan, budak-budak kompeni yang terdiri dari orang orang Cina boleh tinggal dan berdagang di Jambi. Demikian pula rakyat Jambi boleh berdagang dan tinggal di Batavia. Kontrak 12 Juli 1681 antara Sultan Jambi dengan VOC yang diwakili oleh Adrian Wiland menyebutkan, kompeni memberikan perlindungan kepada kesultanan Jambi jika mendapat ancaman dari Palembang. Kontrak 11 Agustus 1683 antara Sultan Ingalaga dengan VOC menyebutkan kompeni memperoleh monopoli pembelian lada, impor kain dan opium (candu) di Jambi.

Di Riau, Belanda dan yang Dipertuan muda kemudian mengangkat pamannya, Sultan Badrul alam Syah II menjadi Sultan Riau ke-empat (1857-1883). Ia dibantu oleh yang Dipertuan muda IX Raja Haji Abdullah (1857-1858). Selama masa pemerintahannya, Daik bertemu dengan kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sultan meningkatkan perekonomian lokal dengan mendorong budidaya padi dan persiapan opium. Dia juga dimiliki armada kecil untuk mempromosikan hubungan perdagangan. Ia memperkenalkan sagu dari Maluku kepada masyarakat setempat yang ia yakini sebagai pengganti yang lebih baik daripada beras sebagai makanan pokok, karena beras hanya dapat dipanen setahun sekali. Daerah ini kemudian menjadi pusat perdagangan daerah menarik pedagang dari Cina, Sulawesi, Borneo, Semenanjung Melayu, Sumatera, Pagaruyung, Jawa, Siak, Pahang ke Daik.

Sedangkan di Kepulauan riau sendiri yang menjadi bagian dari perdagangan Selat malaka terdapat sebuah rumah candu. Bangunan yang dipergunakan untuk rumah candu di kabupaten Lingga terletak di Desa Penuba. Bangunan ini sampai tahun 2017 sudah terinventaris nama Situs Rumah Eks Belanda (Mess Desa).Situs ini terletak di dekat pantai dengan ketinggian sekitar 3 m dari permukaan air laut.Bangunan ini dibangun pada tahun 1933 oleh Belanda yang dipergunakan rumah peristirahatan pimpinan, tempat hiburan dan menghisap candu. Penuba merupakan daerah yang sangat strategis  untuk mengakomodir segala bentuk pertersistematisahan dalam rangka melakukan ekspansinya di Lingga. Karena itu Belanda membuat pelabuhan sebagai sarana transportasi untuk membawa hasil bumi keluar negeri /Eropa, dan Penuba merupakan pelabuhan utama  oleh Belanda dalam melaksanakan ekspansinya  dikawasan lingga.

Bangunan Rumah Eks Belanda ini memiliki arsitektur antara bangunan Kolonial dengan rumah panggung melayu. Ciri- ciri Kolonial terlihat dari penggunaan jendela dan pintu serta atap genteng. Arsitektur rumah melayu terlihat dari bagian dasar bangunan yang berupa rumah panggung setinggi 70 cm dari permukaan tanah. Genteng yang saat ini dipakai menunjukkan bahwa genteng ini masih aslinya. Hal ini terlihat adanya inskripsi  yang menunjukkan genteng ini berasal dari Marseile Perancis.  Bangunan ini dilengkapi dengan anak tangga berjumlah 5 buah. Rumah ini menggunakan tiang penyangga yang pondasi/ sandinya yang terbuat dari cor semen. Rumah ini berdenah persegi dengan penambahan bangunan dari kayu yang berada di sisi belakang rumah.

Pelestarian bangunan Rumah candu sebagai sarana pembelajaran dan edukasi merupakan hal pokok. Ponit penting yang dlakukan untuk kelestarian nilai sejarah. Sejarah catatan candu membuktikan bahwa masyarakat Nusantara tidak hanya dijajah secara ekonomi saja. Pengusaan alam pikiran dan mental bangsa masyarakat di Nusantara melalui candu. Candu adalah alah penjajahan dan senjata paling ampuh untuk membunuh baik secara fisik maupun mental bangsa Indonesia. Kemerdekaan berfikir bangsa Indonesia sudah direnggut.

Pada dasarnya rumah eks candu merupakan dead monumen. Kehadiran Rumah candu mampu juga dikembangkan sebagai bagian dari sarana edukasi terkait efek dan dampak dari pengunaan candu. Pengembangan arah yang lebih lanjut dapat digunakan sebagai monumental. Sebuah peringatan akan bahwa candu menangam setiap saat genrasi muda. Pengalian nilai-nilai dan perjalanan sejarah pengendalian atau pemberantasan candu masa silam dapat juga menjadi acuan untuk masa sekarang. Setidaknya akan ada ditemukan pola-pola yang sama alur pendistribusian candu masa silam dengan narkoba masa sekarang. Ibarat kata sejarah akan terus berulang namun pelakunya saja yang berbeda.

Mengali dan meneliti pola pada masa lalu akan memberikan gambaran dimasa sekarang. Setidaknya secara dangkal penyebaran dampak dari perdagangan candu masa silam telah merusak mola bangsa indonesia sampai berpuluh-puluh tahun hingga saat ini. Pembodohan dan perusakan generasi pada masa silam dengan pola penyebaran candu juga tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Jika pada masa lalu candu masuk ke desa-desa hingga pelegalan penjualannya. Rumah candu yang terdapat di Lingga ini dapat dikembangkan sebagai Center studi pemberantasan candu masa sekarang.