Tambi Abdurrahman bin Muhammad (Apak) berasal dari negeri Sailon (Sri Lanka), datang ke Lingga berniaga permata dan kain–kain yang di bawa dari negeri asalnya. Anak Tambi sebanyak empat orang yaitu
1.Naca(Perempuan)
2.Muhammad
3.MuhammadAli
4.Tambi

Anak dari Naca bernama Fatimah atau Tok Unggal dan Aisyah orang tua dari Maharani (‘ai). Anak dari Muhammad bernama Maimunah yaitu cucu dari Tambi Abdurrahman. Tambi Abudarrahman merupakan Kepala dari orang–orang Keling yang berada di Lingga, di perkirakan semasa Sultan Abdurrahman Muazzamsyah ( 1884 – 1911 ), orang – orang Keling yang pada waktu itu sebagian sebagai pekerja. Atas kepercayaan dari pihak Kerajaan dan Belanda beliau mendapat anugrah dengan Jabatan Letnan, dan ia juga menjabat sebagai anggota ahli Al Mahkamah kerajaan di Lingga, Peninggalan yang dapat di lihat pada masa sekarang ini , adalah Rumah tempat tinggalnya, yang sangat unik yang mempunyai ciri khas tersendiri, seperti ukiran dan kaligrafi. Pengrajinnya orang Bugis yang di datangkan dari Singapura bernama Djumahat.

Penghuni rumah sekarang ini adalah keluarga Abdul Gani, suami dari Almarhumah Aisyah cucu dari pada Letnan Abdurrahman, dan anaknya bernama Topik, Maharani, Fauzi, Zulkifli, Anuar, Hidayat, Firdaus, Elmizan dan Safri. Pada masa Kesultanan Riau-Lingga, di Daik sudah ada orang–orang India, Cina dan Arab. Mereka datang selain berdagang, bekerja dan menyebarkan agama. Orang- orang India yang datang kemudian menetap di Daik, lalu membangun pemukiman orang–orang india, kampung itu di kenali dengan Kampung Keling yang bersebelahan dengan Kampung Bugis dan Kampung Cina, namun pada masa kini hanya menyisakan lokasi saja, karena telah banyak berdiri bangunan baru. Di lokasi dulunya terdapat sebuah Surau dengan nama Surau Keling, di situlah orang–orang India yang ada menunjukkan mayoritas beragama Islam, sekarang surau sudah tidak ada lagi, di lokasi bekas tapak surau telah didirikan rumah masyarakat. Keturunan India yang ada di Daik sekarang telah menjadi orang–orang Melayu, kita masih dapat melihat mereka yang masih mempunyai ciri khas berwajah India[1].

Rumah Abdurrahman memiliki karakteristik rumah melayu. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan tiang-tiang untuk menopang bangunan rumah (rumah panggung). Meskipun Abdurrahman berasal dari Sailon (Srilanka) sang pemilik rumah lebih mengadaptasi arsitektur lokal[1]. Selain tiang, penggunaan dinding-dinding vertical yang tinggi juga menjadi salah satu unsur  dari rumah melayu. Berdasarkan posisi rumah terhadap jalan raya, rumah Abdurrahman memiliki perabung atap yang sejajar dengan jalan raya sehingga disebut rumah perabung panjang.[2]

[1] Hal ini juga dipengaruhi oleh arsitek rumah sendiri yang berasal dari Bugis. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya unsur pengaruh arsitektur Srilanka (Ornamen hias pada dinding?). Penggunaan arsitektur lokal juga dapat dipahami sebagai cara beradaptasi dengan lingkungan (supaya rumah tidak terendam air pasang)

[2] Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu: Rumah Melayu Memangku Adat Menjemput Zaman, Yogyakarta.2004.Hlm 24.

[1] Hasil wawancara M Fadlillah M Saleh dengan Maharani cicit dari Letnan Abdurrahman, Lazuardy Ustman dan Ramlan Haji Hitam Noeh