Perayaan Hari Raya Waisak tahun 2019 ini dilaksanakan secara nasional di Candi Muara Takus, sebenarnya sudah berapa kali candi Muara Takus di Pugar sejak ditemukan kembali. Kawasan Cagar Budaya Percandian Muara Takus merupakan candi Buddha. Hal tersebut terlihat dari adanya stupa yang merupakan lambang Buddha Gautama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa arsitektur candi ini merupakan  percampuran  unsur Ciwaistis, Budhistis, dan Indonesia. Unsur Ciwaistis dapat terlihat pada penggunaan motif lingga dan yoni. Unsur Budhistis  yaitu dengan adanya stupa dan bunga teratai (padma), sedangkan unsur Indonesia yaitu adanya punden berundak-undak, dan  jenjang naik menuju moksha.

Perayaan Hari Raya Waisak di Candi Muara Takus tahun 2018

Gaya bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Bentuk candi ini memiliki kesamaan dengan stupa Buddha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang memiliki ornamen sebuah roda dan kepala singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus. Pada tahun 1860, seorang arkeolog Belanda bernama Cornel de Groot berkunjung ke Muara Takus, pada waktu itu di setiap sisi ia masih menemukan patung singa dalam posisi duduk. Patung singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek ‘terang’ yang dapat mengalahkan aspek ‘gelap’. Dalam ajaran agama Buddha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Buddha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Buddha sebagai ‘singa dari keluarga Sakya’. Serta ajaran yang disampaikan oleh sang Buddha juga diibaratkan sebagai ‘suara’ (simhanada) yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.

Nah ini berikut riwayat penelitian dan Pemugaran Candi Muara Takus:

  1. P. Groeneveld Pada tahun 1880 seorang kebangsaan Belanda yang bernama W.P. Groeneveld melakukan penelitian terhadap Kompleks Percandian Muara Takus. Hasil penelitian tersebut merupakan kunci dari tulisan singkat Verbeek dan Van Delden. Kemudian pada tahun yang sama yaitu 1880 Verbeek dan Van Delden berdasarkan hasil tulisan W.P. Groeneveld, menyatakan bahwa bangunan candi tersebut merupakan bangunan Buddha yang terdiri dari biara dan beberapa candi. Ekspedisi Verbeek dan Van Delden membuat jalan dari Payakumbuh ke Muara Takus yang terletak di sebelah barat Sungai Kampar Kanan.
  2. D.M. Verbeek dan E.TH. Van Delden. Pada tahun 1881 Verbeek dan Van Delden menulis pendapatnya tentang keberadaan Candi Muara Takus dengan judul “De Hindoe Ruinen Bij Moeara Takoes Aan De Kampar Rivier” dengan gambar oleh W.P. Groeneveld yang dimuat dalam Verhandelingen can hat Bat, Genootschap, dimana lukisan/gambar yang dimuat dalam buku tersebut dikerjakan oleh Ir. Pertambangan TH.A.F. Delprat dan Opziter (sinder) HL Leijdie Melville. Mereka juga menemukan tembok keliling yang mengelilingi Kompleks Percandian Muara Takus.
  3. W. Yzerman. Pada awal 1889 J. W Yzerman melakukan pengukuran, dibantu oleh Ir. Pertambangan TH.A.F. Delprat dan Opziter (sinder) HL Leijdie Melville yang bertugas sebagai juru foto. Ekspedisi mereka mendapatkan bantuan dari kontelir J. Van Zon yang berkedudukan di Payukumbuh untuk mengangkut beban sampai ke tempat tujuan. Menurut J.W. Yzerman di bagian hilir Sungai Kampar terdapat bangunan purbakala, diantaranya di Bangkinang, Muara Mahat dan di Durian Tinggi. Candi di Bangkinang diperkirakan berada di Lima Koto, sedangkan di Durian Tinggi berada di dekat Kapur Gadang, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. J.W. Yzerman dan Ir. TH Delprat melakukan pengukuran, kemudian membuat sket desa Muara Takus dan juga sket Kompleks Percandian Muara Takus, mereka menulis tentang Kompleks Percandian Muara Takus sebagai berikut:

Muara Takus yang terletak pada belokan Sungai Kampar Kanan yang arealnya mencapai 1,25 km². Pada bagian tengahnya terdapat jalan setapak dari Muara Mahat ke Tanjung. Dekat jalan tersebut terletak puing-puing bangunan bangunan lama. Menurut J.W. Yzerman Kompleks Percandian Muara Takus ini dilingkari oleh dinding tembok berbentuk persegi dengan ukuran 74 x74 m, terbuat dari batu pasir (tuff) yang memiliki tinggi 1 m. Semula dia menyangka candi tersebut terbuat dari tanah. Tetapi setelah dikupas, ternyata terbuat dari batu pasir putih yang disusun. Ditengah lapangan, selain dijumpai tumpukan batu terdapat juga kayu bekas bangunan tempat biksu dan tempat lainnya.

Pada waktu mereka sampai di Kompleks Percandian Muara Takus yang dapat dilihat adalah stupa (Candi Mahligai), Teras tinggi di sebelah timur stupa (Candi Palangka), Candi Bungu dengan teras mempunyai batas antara batu bata dan batu pasir, Candi Tua. Stupa (Candi Mahligai) merupakan bangunan yang masih baik sehingga dapat digambarkan menurut keadaan sebenarnya, namun ada bagian-bagian dari bangunan ini yang telah rusak/runtuh. Ukuran batu bata yang digunakan bervariasi, panjang antara 23 cm sampai dengan 26 cm, lebarnya 14 cm sampai dengan 15,5 cm dan tebalnya antara 3,5 cm samapai dengan 4,5 cm. Pada bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan/relief daun oval.

  1. F. M. Schnitger. Pada tahun 1935 dilakukan penggalian oleh Dr. F. M. Schnitger terhadap pondasi, pintu gerbang dinding sebelah utara, pondasi bangunan I, pondasi bangunan II, Candi Tua dan Candi Bungsu. Pada Candi Bungsu yang terletak disebelah barat Candi Mahligai pernah ditemukan bata bata yang berbentuk lotus. Di dalamnya terdapat abu dan lempengan emas yang bercampur tanah. Pada lempengan emas tersebut terdapat gambar Trisula dan tulisan yang berbentuk huruf Nagari (Schnitger 1936, 11). Menurut Schnitger teras Candi Bungsu, Candi Tua bagian dalam, Candi Palangka, Bangunan I dan II berasal dari abad XI, sedangkan Candi Mahligai dan Candi Tua diperkirakan pada abad XII (Schnitger 1936, 12). Berdasarkan hasil penelitian Schnitger terhadap Kompleks Percandian Muara Takus, maka beliau berpendapat bahwa bangunan tersebut berasal dari abad XI dan kemudian direkontruksi kembali pada abad XII. Reruntuhan yang ditemukannya merupakan bagian dari kota yang dikelilingi oleh dinding tanah atau tembok keliling seperti yang ditemukan oleh J.W. Yzerman 1889 yang disebut dengan Arden Wall. Kemudian menurut dugaan Schnitger candi-candi tersebut besar kemungkinan adalah kuburan raja-raja.
  2. Ben Bronson bersama Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta pada tahun 1973. Mereka melakukan penggalian dan penelitian pada pagar keliling Kompleks Percandian Muara Takus dan sekitarnya. Dari hasil penggalian ditemukan keramik yang umurnya lebih tua dari masa Dinasti Yuan Ming dan Ching yaitu antara abad XIII dan XIX. Dari hasil penggalian selanjutnya ditemukan pula sisa bangunan dari bata yang terdapat diluar kompleks. Kemudian ditemukan juga fragmen yang terbuat dari perunggu dengan tulisan Nagari yang berasal dari abad VII dan abad XII, yang dapat dihubungkan dengan masa pemerintahan Raja Karta Negara dengan Ekspedisi Pamalayunya.
  3. J. Krom N. J. Krom memperkirakan bangunan ini berasal dari abad VII atau sezaman dengan Prasasti Viengsa di Cina (Bosch 1930, 149).
  4. Bernet Kempers. Bernet Kempers mengatakan bahwa stupa Candi Mahligai yang berntuknya seperti sebuah menara, berbeda bentuknya dengan stupa yang ada di Indonesia, walaupun masih mengikuti arsitektur Buddha.
  5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sejak tahun 1977, Pusat Penelitian Peniggalan Purbakala nasional dan Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Provinsi Riau telah berhasil menyelesaikan pemugaran bangunan-bangunan di Kompleks Percandian Muara Takus dengan volume 1.106 m3. Kemudian juga dilakukan pemugaran Candi Tua sebesar 2.235 m3. Kegiatan pemugaran diawali dari Candi Mahligai, Bangunan III, Candi palangka, Candi Bungsu, Pagar keliling, dan Candi Tuo. Bangunan I, II, dan IV tidak dipugar karena kondisinya yang sudah sangat rusak, begitu juga bangunan V dan VI yang hanya tersisa bata-bata yang sudah hancur.

Kompleks Percandian Muara Takus dipugar pada tahun 1982/1983 dari proyek Pemugaran dan Pemeliharaan  Peninggalan Sejarah dan Purbakala Riau. Kegiatan pemugaran untuk mempertahankan bangunan-bangunan candi dari keruntuhan. Adapun pemugaran yang dilakukan yaitu; pertama, Melanjutkan kembali pemasangan batu bata setelah dilakukan susunan percobaan pada tangga naik dan turun; kedua Pemasangan kembali batu pada bagian dinding tangga sebelah timur, sebelah barat, dan sebelah utara yang sebelumnya telah dilakukan susunan percobaan; ketiga, Pemasangan batu isian dan pengurukan pasir pada tweede bouw dan deerde bouw; Keempat, Pemasangan batu lantai sebelah barat, Pemasangan perencah barak dengan les plank, Pengupasan Candi Tua  dari bagian stupa yaitu disebelah barat; Kelima, Pembuatan gudang tempat alat-alat pekerjaan, Pembuatan pondasi tempat penyimpanan atau penampungan air, Pemasangan pipa paralon di sekitar candi dan pemeliharaan pertamanan; Keenam,  Pembersihan areal situs dalam Kompleks Percandian, Pembersihan tembok keliling dari tanah, Pengukuran Candi Tua bagian bawh atau bagian profil..

 

Nah itulah begitulah riwayat penelitian dan Pemugaran Candi Muara Takus sebelum di kelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Sampai saai ini Candi Muara Takus sudah memiliki SK Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM.9/PW.007/MKP.03 tentang Penetapan Komplek Percandian Muara Takus yang Berlokasi di Wilayah Propinsi Riau sebagai Benda Cagar Budaya dan/atau Situs yang Dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992. Juga sedang diusulkan kepada Tim Alhi Cagar Budaya Nasional untuk duberikan peringkat Komplek Candi Muara Takus bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010.

Selamat Hari Raya Waisak 2563 BE